Senin, 26 Januari 2015

Dampak Sosial Keberadaan Pencari Suaka di rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat

BAB I
Pendahuluan

A.     Latar Belakang
Isu Migrasi tidak dapat dipisahkan dari kondisi suatu masyarakat terutama jika ditinjau dari istilah migrasi dan elemen-elemen yang berada di dalamnya yang memainkan peranan, pengaruh dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan.  Secara singkat dikatakan bahwa pengertian migrasi secara umum merupakan perpindahan penduduk antar negara.
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan mengenai Migrasi dari pandangan klasik tentang migrasi internasional yang memandang hanya sebagai perpindahan penduduk antar negara untuk tujuan menetap berubah menjadi pandangan modern yang memandang pengertian migrasi transnasional tidak semata-mata mencangkup perpindahan penduduk secara individual antar negara untuk menetap tetapi juga meliputi pergerakan manusia antar negara tidak untuk menetap dan dilakukan secara berkelompok dan terorganisir[1].  Perkembangan teknologi informasi dan transportasi kian meningkat sehingga membuat batas-batas antar negara semakin semu.   Jalur lalu lintas pun semakin mudah untuk diakses, hal ini menyebabkan meningkatnya  pula  mobilitas  barang  dan  manusia  antar satu negara ke negara lain.
Meningkatnya jumlah manusia dan juga semakin meningkatnya perkembangan jaman dan pengaruh globalisasi.  Jelas menyebabkan banyak hal-hal yang terjadi mulai dari meningkatnya perdagangan yang bebas, semakin dekatnya hubungan antar Negara baik dalam bentuk perjanjian, kerjasama ekonomi dan bentuk kerjasama lainnya.
Bentuk lain dari pengaruh perkembangan jaman yang cepat dan globalisasi yang kuat juga menimbulkan banyak masuknya pengaruh dari luar Indonesia, baik berupa pemikiran dan gaya hidup, teknologi yang berkembang juga semakin berkembang menyebabkan banyaknya jenis elektronik.
Permasalahan yang juga segaris dengan perkembangan dengan meningkatnya globalisasi ini adalah masalah masuknya warga Negara asing ke Indonesia yang datang karena sekedar ingin berlibur, lalu karena panggilan kerja, dan belajar sebagai mahasiswa asing.  Secara langsung ini meningkatkan tingkat kepopuleran Indonesia di mata internasional karena semakin banyaknya yang masuk ke Indonesia menunjukan Indonesia memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan dari mereka para warga Negara asing, bahkan tidak sedikit yang akhirnya meminta untuk menjadi warga tetap Negara Indonesia.
Di sisi lain dimana ada sesuatu yang legal maka akan ada juga yang ilegal, warga Negara asing yang datang secara legal harus mengurus dokumen-dokumen.  Tapi untuk mereka yang masuk secara illegal mereka masuk dengan sembunyi-sembunyi yang kemudian akan disebut imigran gelap.  Datangnya imigran gelap yang kini justru semakin meningkat yang mungkin karena disebabkan kedaan dunia internasional yang sedang tidak stabil baik di bidang ekonomi maupun hankam.  Hal-hal tadi mendorong maraknya imigran baik legal maupun illegal.
Permasalahan mengenai arus pencari suaka yang memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang tak kunjung mereda, bahkan jumlah pencari suaka kini kian meningkat. Tercatat di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Jakarta, jumlah pencari suaka di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3.905 orang. Jumlah tersebut terus meningkat di tahun 2011 menjadi 4052 orang. Sampai dengan akhir Juli 2014 terdapat 3,983 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif. Mereka sebagian besar datang dari Afghanistan (35%), Myanmar (23%), Sri Lanka (8%) dan Somalia (8%)[2]. Indonesia merupakan salah satu negara yang harus berhadapan dengan permasalahan orang asing seperti banyaknya pencari suaka yang singgah dan bahkan tinggal di Indonesia.
Dengan konsekuensi letak geografis yang strategis, Indonesia merupakan tempat persinggahan favorit bagi gelombang pencari suaka ke negara tujuan yaitu Australia. Permasalahan yang akan timbul setelah meraka datang adalah bagaimana kehidupan para imigran gelap di Indonesia?, apa mereka dapat mendapat hak sebagaimana warga Negara asing pada umumnya, lalu apa sebenarnya yang menyebabkan banyaknya imigran gelap datang?, Apakah semudah itu memasuki Indonesia.  Jika di kaitkan dengan dengan masyarakat, tentunya dengan adanya imigran gelap sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Mulai dari dampak negatif dan positif keberadaan imigran gelap. Dampak Inilah yang menjadi sebuah fenomena yang menarik dan juga menggelitik karena pasti ada alasan kenapa terdapat rumah-rumah penyewaan yang di pakai oleh pencari suaka.  Oleh sebab itu penulis mengangkat ini menjadi sebuah topik penulisan dengan judul DAMPAK SOSIAL KEBERADAAN PENCARI SUAKA DI RUMAH-RUMAH PENYEWAAN TERHADAP MASYARAKAT SETEMPAT

B.    Identifikasi masalah dan rumusan masalah
1.      Apa saja yang melatar belakangi adanya rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka?
2.      Bagaimana dampak positif dan negatif  keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat?
3.      Bagaimana solusi untuk  untuk mengurangi dampak negatif keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui latar belakang adanya rumah-rumah penyewaan;
2.      Untuk mengetahui dampak positif dan negatif  keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat;
3.      Untuk mengetahui solusi mengurangi dampak negatif keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan;

D.    Kegunaan Teoritis dan praktis
1.      Teoritis
Penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat, dalam menjelaskan tentang dampak keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah sewa terhadap masyarakat setempat.
2.      Praktis
a.     Bagi penulis
1)     Untuk memenuhi persyaratan yang wajib diselesaikan oleh Penulis sebagai syarat kelulusan dari Pendidikan Khusus Keimigrasian Angkatan III serta agar bisa dilantik menjadi Pejabat Imigrasi.
2)     Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman sehingga membangkitkan rasa ingin tahu.
3)     Dapat membuktikan sejauh mana kemampuan kita di bangku Pendidikan Khusus Keimigrasian  (DIKSUSKIM) dengan cara praktek kerja nyata.
b.     Bagi Masyarakat
Menciptakan masyarakat yang positif kooperatif
c.      Bagi Instansi
1)     Proses pendidikan khusus keimigrasian akan lebih baik lagi dengan adanya praktek kerja nyata.
2)     Dapat menghasilkan lulusan yang kompeten dibidang keimigrasian.

E.     Metode Penelitian
Penyusunan Kertas Kerja Perorangan ini, penulis dalam mendapatkan data yang dibutuhkan maka penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.         Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptif dengan tekhnik analisi isi, studi pustaka dengan membaca artikel yang terkait dan buku relefan lainnya sebagai acuan penelitian dalam pembuatan tugas akhir  ini serta wawancara terhadap warga dan pejabat kelurahan Cibeurum Cisarua Bogor.
2.         Analisis Masalah
Lingkup permasalahan yang diteliti adalah mengenai dampak keberadaan pencari suaka di rumah-rumah sewa terhadap masyarakat setempat
F.     Kerangka Penulisan
Adapun kerangka penulisan yang penulis buat adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan   
Membahas tentang latar belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Teoritis dan Praktis, Metode Penelitian dan kerangka Penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Membahas tentang pengertian Migrasi, Imigran Gelap, Asylum seeker / refugee / pengungsi, masyarakat, pencari suaka dan dampak sosial.
BAB III Pembahasan
Membahas tentang Keberadaan pencari suaka (Cisarua, Bogor  Indonesia), Dampak sosial keberadaan pencari suaka di rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat (Cisarua, Bogor), Pengumpulan fakta dalam penanganan dampak sosial keberadaan pencari suaka di rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat (Cisarua, Bogor), Peran Pemerintah dalam menangulangi dampak sosial keberadaan pencari suaka di rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka (Cisarua, Bogor).
BAB IV Penutup
Berisi tentang Kesimpulan dan Saran




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Migrasi
Migrasi yang terjadi selama ini baik yang terjadi di Indonesia ataupun belahan dunia lain adalah sebuah peristiwa yang tidak dapat dihindarkan.  Jika dipertanyakan sejak kapan adanya migrasi mungkin akan ada banyak versi, tapi yang jelas migrasi sudah ada sejak peradaban manusia itu pun ada. 
Migrasi Penduduk atau migrasi manusia adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain, berjarak jauh dan terbentuk dalam kelompok yang besar yang tujuannya adalah menetap di suatu daerah. Migrasi melintasi perbatasan wilayah, provinsi, negara, atau internasional. Orang-orang yang bermigrasi ke wilayah yang disebut imigran, sementara pada titik keberangkatan mereka disebut emigran. 
Migrasi disebut juga dengan mobilitas penduduk yang definisi nya sama yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk terbagi dua yaitu bersifat nonpermanen atau sementara misalnya turis baik nasional maupun manca negara, dan ada pula mobilitas penduduk yang bersifat permanen atau menetap di suatu daerah. Mobilitas penduduk permanen disebut migrasi. 

Macam-macam migrasi itu sendiri adalah :
1.      Migrasi internasional (migrasi antarnegara)
Migrasi internasional (migrasi antarnegara) adalah perpindahan penduduk dari suatu Negara ke Negara lain. Migrasi internasional meliputi imigrasi, emigrasi, dan remigrasi.  Imigrasi, yaitu masuknya penduduk dari Negara lain ke suatu Negara dengan tujuan menetap.
Emigrasi, yaitu berpindahnya penduduk atau keluarnya penduduk dari suatu Negara ke Negara lain dengan tujuan menetap.  Remigrasi, yaitu kembalinya penduduk dari suatu Negara ke Negara asalnya.
2.     Migrasi internal (migrasi nasional)
Migrasi internal (migrasi nasional) adalah perpindahan penduduk yang masih berda dalam lingkup satu wilayah Negara.

Faktor-Faktor yang menyebabkan migrasi
Berikut ini adalah beberapa faktor  yang menyebabkan manusia / orang pelakukan aktifitas migrasi[3] :
1.      Alasan Politik / Politis, Kondisi perpolitikan suatu daerah yang panas atau bergejolak akan membuat penduduk menjadi tidak betah atau kerasan tinggal di wilayah tersebut.
2.      Alasan Sosial Kemasyarakatan, Adat-istiadat yang menjadi pedoman kebiasaan suatu daerah dapat menyebabkan seseorang harus bermigrasi ke tempat lain baik dengan paksaan maupun tidak. Seseorang yang dikucilkan dari suatu pemukiman akan dengan terpaksa melakukan kegiatan migrasi.
3.      Alasan Agama atau Kepercayaan, Adanya tekanan atau paksaan dari suatu ajaran agama untuk berpindah tempat dapat menyebabkan seseorang melakukan migrasi.
4.      Alasan Ekonomi, Biasanya orang miskin atau golongan bawah yang mencoba mencari peruntungan dengan melakukan migrasi ke kota. Atau bisa juga kebalikan di mana orang  yang kaya pergi ke daerah untuk membangun atau berekspansi bisnis.
5.      Alasan lain, Contohnya seperti alasan pendidikan, alasan tuntutan pekerjaan, alasan keluarga, alasan cinta, dan lain sebagainya.
                  
B.    Imigran Gelap (Illegal migration)
Illegal migration diartikan sebagai suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap di suatu wilayah melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sah atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah secara sah[4].
Terdapat tiga bentuk dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi perbatasan secara ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi perbatasan dengan cara, yang secara sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi), tetapi sesungguhnya menggunakan dokumen yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi milik seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan dokumen remsi dengan tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang tetap tinggal setelah habis masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi[5].
Philip Martin dan Mark Miller menyatakan bahwa smuggling merupakan suatu istilah yang biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok, demi keuntungan, memindahkan orang-orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan Undang-Undang) untuk melewati perbatasan suatu negara. Sedangkan PBB dalam sebuah Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi memberikan definisi dari smuggling of migrants sebagai sebuah usaha pengadaan secara sengaja untuk sebuah keuntungan bagi masuknya seseorang secara ilegal ke dalam suatu negara dan/atau tempat tinggal yang ilegal dalam suatu negara, dimana orang tersebut bukan merupakan warga negara atau penduduk tetap dari negara yang dimasuki (Philip, op cit). Sedangkan pengertian people smuggling adalah sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan ilegal yang terorganisasi dari sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan internasional, biasanya dengan melakukan pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migran merupakan suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang yang bukan warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu secara ilegal ke negara tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang harus ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk menyatakan suatu tindakan tersebut tergolong people smuggling, yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal batas antar negara, aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang bersifat ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud untuk mencari keuntungan. 

C.    Pencari suaka dan pengungsi
1.      Pengertian pencari suaka
Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan[6]Mereka yang tidak memperoleh status pengungsi disebut sebagai pencari suaka[7].
2.    Pengertian Pengungsi
Ada perbedaan pengertian pengungsi sebelum dan sesudah tahun 1951. Perbedaan ini didasarkan pada isi perjanjian internasional, terutama mengenai pengertian Pengungsi.
Pengungsi dalam Perjanjian Internasional sebelum 1951 pada prinsipnya adalah pengungsi yang berasal dari daerah-daerah tertentu. Jadi di sini didasarkan dari orang-orang yang berasal dari daerah-daerah tertentu. Jadi di sini didasarkan dari orang-orang yang berasal dari daerah tertentu, yang karena keadaan daerah tertentu, yang karena keadaan daerahnya terpaksa keluar. Perlindungan menurut Hukum Internasional dalam hal ini hanya orang-orang tertentu tersebut dan tidak dimaksudkan untuk melindungi pengungsi secara umum.
Pengertian pengungsi dalam perjanjian Internasional setelah tahun 1951 diartikan secara general (umum), tidak hanya daerah tertentu, Cuma dalam konvensi ini masih ada pembatasan yaitu pembatasan waktu dimaksudkan adalah hanya mereka yang mengungsi sebelum 1 Januari 1951, jadi ada Dateline (batas tanggal) walaupun secara geografis tidak dibatasi. Persoalan yang timbul ialah mengapa dalam konvensi tersebut perlu dibatasi dalam konvensi tersebut?
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 pada prinsipnya hampir sama. Ada tiga hal pokok yang merupakan isi konvensi tersebut, yaitu :
1)     Pengertian dasar pengungsi.
Pengertian dasar Pengungsi diartikan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 penting diketahui sebab diperlukan untuk menetapkan status pengungsi seseorang (termasuk pengungsi atau bukan). Penetapan ini ditetapkan oleh negara tempat orang itu berada dan bekerja sama dengan UNHCR  (United Nation High Commissioner For Refugee), yang menangani masalah pengungsi dari PBB.
2)     Status hukum Pengungsi, hak dan kewajiban pengungsi di negara tempat pengungsian (hak dan kewajiban berlaku di tempat pengungsian itu berada).
3)     Implementasi (pelaksanaan) perjanjian, terutama menyangkut administrasi dan hubungan diplomatik. Di sini titik beratnya administrasi dan hubungan diplomatik. Di sisni titik beratnya ialah pada hal-hal yang menyangkut kerja sama dengan UNHCR. Dengan demikian, UNHCR dapat melakukan tugasnya sendiri dan melakukan tugas pengawasan, terutama terhadap negara-negara tempat pengungsi itu berada.
Macam-macam Pengungsi
Latar belakang terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni :
1)     Pengungsian karena bencana alam (Natural Disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya masih dilindungi  negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya, dan orang-orang ini masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.
2)     Pengungsian karena bencana yang dibuat Manusia (Man Made Disaster). Pengungsian disini pada prinsipnya pengungsi keluar dari negaranya karena menghindari  tuntutan (persekusi) dari negaranya. Biasannya pengungsi ini karena lasan politik terpaksa meninggalkan negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari pemerintah dimana ia berasal.
Dari dua jenis pengungsi di atas yang diatur oleh Hukum Internasional sebagai Refugee Law (Hukum Pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu tidak diatur dan dilindungi oleh Hukum Internasional.
Ada  suatu istilah pengungsi yang disebut Statutory Refugees. Yang dimaksud Statutory Refugees adalah Pengungsi-pengungsi yang berasal  dari suatu negara tertentu yang tidak mendapatkan perlindungan diplomatik dari negaranya (negara asalnya). Yang dapat dikategorikan sebagai Statutory Refugees adalah mereka yang memenuhi persyaratan seperti yang disebut dalam perjanjian Internasional sebelum 1951.
Sebenarnya, sebelum 1951 sudah ada persetujuan Internasional yang sifatnya Regional atau setempat misalnya di Amerika, Eropa, yang membuat peraturan-peraturan pengungsi tetapi hanya berlaku setempat. Perjanjian Internasional yang sifatnya regional biasanya menyangkut tiga hal, yaitu :
1)     Pemberian Asylum
2)     Travel Document
3)     Travel Facilities
Pemberian Asylum terutama di negara-negara Amerika Latin, yaitu dengan membuat  banyak perjanjian-perjanjian Regional, di samping juga terdapat di Afrika tentang aspek-aspek khusus dari masalah pengungsi yang ditanda tangani 1969, kemudan di Asia yang berupa Deklarasi yaitu pernyataan oleh Komite Konsultatif hukum Asia-Afrika di Bangkok, Anggota-anggotanya adalah Sarjana  hukum dari Asia dan Afrika, diadakan pada tahun 1966 yang menyatakan prinsip-prinsip perlakuan terhadap pengungsi ada sifatnya Universal dan ada yang sifatnya Regional, akan tetapi sudah pengungsi dalam arti yang umum.
1)     Statutory Refugee adalah status dari suatu pengungsi sesuai dengan persetujuan interansional sebelum tahun 1951.
2)     Convention Refugee adalah status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Di sini pengungsi berada pada suatu negara pihak/peserta konvensi. Yang menetapkan status pengungsi adalah negara tempat pengungsian (negara dimana pengungsi itu berada) denga kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja sama itu misalnya: dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan status pengungsi, bentuk kerjasama lainnya neagar yang bersangkutan menyerahkan mandate sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu teramsuk pengungsi atau tidak
3)     Mandate Refugee adalah menentukan status pengungsi bukan dari konvensi 1951 dan Protokol 1967 tapi berdasar mandate dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada negara yang bukan peserta konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang menetapkan status pengungsi adalah UNHCR bukan negara tempat pengungsian. Mengapa Mandate Refugee tidak ditetapkan oleh negara tempat pengungsi? Hal ini disebabkan karena negara tersebut bukan negara pihak dalam konvensi tadi, akibatnya ia tidak bisa melakukan tindakan hukum seperti dalam konvensi tadi.
4)     Pengungsi-pengungsi lain (sebab manusia):
Ada yang tidak dilindungi oleh UNHCR, misalnya : PLO, sebab PLO sudah diurus dan dilindungi badan PBB lain maka tidak termasuk lingkungan kekuasaan UNHCR.
Selanjutnya Haryo mataram membagi dua macam “Refugees, yaitu Human Rights Refugees dan Humanitarian Refugees[8].
(a)   Human Rights Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari Human Rights Refugees ini.
(b)   Humanitarian Refugess adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi, dianggap sebagai “alien” Menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik daam Konvensi Geneva 1949 (terutama Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan I-1977.
(c)    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, baik International Humanitarian Law maupun International refugees Law, mengatur masalah “refugees”. International Humanitarian Law memberikan perlindungan kepada “humanitaran refugees”, sedang International Refugees Law mengatur “human rights refugees”.

D.    Dampak Sosial
Dampak sosial adalah dampak-dampak yang mencakup semua konsekuensi sosial dan budaya atas suatu kelompok manusia tertentu yang diakibatkan setiap tindakan publik atau swasta yang mengubah cara-cara bagaimana orang menjalani kehidupan, bekerja, bermain, berhubungan satu sama lain, mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidup mereka, dan secara umum berupaya menjadi anggota masyarakat yang layak[9].

E.     Rumah-rumah Penyewaan
Rumah dalam arti umum, adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu[10].
Penyewaan adalah sebuah persetujuan di mana sebuah pembayaran dilakukan atas penggunaan suatu barang atau properti secara sementara oleh orang lain. Barang yang dapat disewa bermacam-macam, tarif dan lama sewa juga bermacam-macam[11].
Rumah-rumah penyewaan adalah rumah-rumah yang disewa dengan sebuah persetujuan dengan tarif tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.

F.     Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut[12].
Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat adalah sistem hidup secara bersama, di mana maksud dari hidup bersama ini bahwa dapat menimbulkan kebudayaan sehingga setiap anggota masyarakatnya pun merasa dirinya masing-masing bisa melekat dan terikat pada kelompoknya tersebut.
Pada Pengertian Masyarakat dikatakan bahwa sejumlah manusia ini merupakan satu kesatuan golongan yang berhubungan dengan tetap dan memiliki dasar kepentingan yang sama. Misalkan saja yaitu pada sekolah, keluarga, perkumpulan atau komunitas, serta negara di mana semuanya adalah masyarakat. Pada ilmu sosiologi dapat kita mengetaui bahwa ada dua macam masyarakat, yaitu pertama masyarakat paguyuban dan masyarakat petambayan. Maksud keduanya adalah masyarakat paguyuban ini terdapat sebuah hubungan secara pribadi antara anggota-anggotanya sehingga menimbulkan ikatan batin antar pelaku-pelakunya. Dan sedangkan pada masyarakat petambayan tersebut adalah masyarakat yang memiliki hubungan pamrih dan murni dari para pelakunya serta ada saling keterkaitan antara pelakunya.
Masyarakat tidak begitu saja hadir seperti sekarang ini, tetapi dengan adanya perkembangan yang diawali dengan masa lampau sampai sekarang ini dan terdapat bahwa ada masyarakat yang mewakili masa tersebut. Masyarakat ini lalu berkembang dengan mengikuti perkembangan zaman sehingga ada kemajuan yang diperoleh dari masyarakat selaras dengan perubahan yang terjadi secara global, akan tetapi ada pula masyarakat yang berkembang tidak mengikuti dengan adanya perubahan zaman melainkan masyarakat tersebut berubah berdasarkan dengan konsep mengenai perubahan itu sendiri. Untuk mempertahankan kehidupannnya maka masyarakat berinteraksi ataukah beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi ini dapat dibedakan menjadi dua , yaitu :
1.     Adaptasi genetik
Adaptasi ini bermakna bahwa setiap lingkungan hidup biasanya dapat merangsang para pelaku untuk dapat membentuk struktur tubuhnya secara spesifik, bersifat turun temurun dan juga permanen atau tetap.
2.     Adaptasi somatis
Adaptasi ini merupakan penyesuaian secara fungsional dan bersifat sementara atau tidak secara turun temurun. Bila dapat dibandingkan dengan makhluk lainnya bahwa manusia memiliki daya adaptasi yang cukup lebih luas cakupannya.
Dalam Pengertian Masyarakat pun berperan sebagai organisasi manusia yang memiliki hubungan antara satu dengan lainnya dan terdapat pula unsur-unsur pokok yaitu sebagai berikut :
a.     Orang-orang dalam jumlah relatif besar akan saling berinteraksi baik secara individu dengan kelompok maupun antar kelompok.
b.     Adanya kerja sama secara otomatis yang terjadi dalam setiap masyarakat, baik mengarah pada skala kecil atau antar individu maupun skala luas atau antar kelompok. Kerja sama ini dapat berupa dari berbagai aspek kehidupan misalnya seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta keamanan dan ketertiban.
c.      Berada dalam suatu wilayah dengan memiliki batas-batas tertentu yang merupakan wadah sebagai tempat berlangsungnya tata kehidupan yang bersama
d.    Berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan memiliki norma sosial tertentu yang menjadi acuan pada sistem tata kelakuan serta hubungan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya.












BAB III
PEMBAHASAN

A.     Keberadaan pencari suaka (Cisarua, Bogor  Indonesia)
Keberadaan pengungsi asing di Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2013, terus mengalami peningkatan yang cukup drastis. Berdasarkan data yang diperoleh dari UNHCR (badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah pengungsi), pada 2008 jumlah pengungsi yang masuk ke Indonesia hanya 385 orang. Namun pada 2013, jumlahnya meningkat hingga 8.332 orang. Mayoritas pengungsi yang masuk ke Indonesia berasal dari Afganistan, Myanmar, dan Somalia.
Untuk data per Maret 2014, jumlah pengungsi yang terdaftar di UNHCR sebanyak 3.405 orang. Sementara pencari suaka sebanyak 7.218 orang. Keberadaan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia ada di sejumlah community house yang tersebar maupun 13 rumah detensi imigrasi (rudenim). Menurut hasil pendataan yang dilakukan oleh Tim Satgas Penertiban Imigran saat ini ada 481 orang yang berada di Wilayah Kabupaten Bogor yg tersebar di beberapa kecamatan seperti Megamendung, Cisarua, Ciawi Caringin, Cijeruk, Sukaraja dan Cibinong. Berikut rincian hasil pendataan yang di lakukan oleh Tim Satgas Penertiban Imigran yang di laksanakan pada tanggal 28 Februari 2014 sampai dengan 06 April 2014 :
NO.

STATUS IMIGRAN

Kebangsaan

Jenis Kelamin

Status UNHCR
Jumlah
Lk
Pr

Pencari Suaka

Pengungsi







1.
Afghanistan
336
16
333
19
352
2.
Pakistan
43
8
49
2
51
3.
Myanmar
24
5
27
2
29
4.
Irak
10
6
16
0
16
5.
Srilanka
13
8
19
2
21
6.
Iran
4
3
7
0
7
7.
Bangladesh
3
0
3
0
3
8.
Somalia
1
0
1
0
1
9.
Sudan
1
0
0
1
1



435

46
455
26
481

1.      Latar belakang adanya rumah-rumah penyewaan untuk para pencari suaka di daerah Cisarua Bogor
Latar belakang adanya rumah-rumah penyewaan di daerah Cisarua Bogor adalah di karenakan terus berdatangan para imigran khususnya para pencari suaka ke daerah bogor sedangkan tempat-tempat penampungan yang di sewa oleh IOM telah di tutup dikarenakan adanya penolakan dari masyarakat terhadap keberadaan imigran, maka para pencari suaka yang sudah datang tersebut akhirnya mencari rumah-rumah warga yang dapat mereka sewa, selain dari hal tersebut adanya rumah-rumah penyewaan tersebut di karenakan warga di daerah cisarua yang kurang mampu dan tergiur oleh uang yang akan mereka dapatkan dari pencari suaka tersebut jika rumah yang mereka punya di sewakan.
Keberadaan para pencari suaka yang tidak tinggal di rumah penampungan (community house) menimbulkan sebagian masyarakat untuk menyewakan rumah kepada para pencari suaka dengan harga yang relatif mahal sehingga dapat menguntungkan mereka dari segi ekonomi.

2.      Permasalahan akibat keberadaaan pencari suaka (Cisarua, Bogor)
Para imigran ini keluar dari negerinya untuk mencari suaka karena negeri mereka tidak aman bagi mereka karena sering terjadi perang. Mereka memilih menjadi imigran karena di negeri mereka selalu terjadi perang. Tujuan mereka sebenarnya Australia. Hal tersebut diakui oleh salah satu imigran asal Iran yang datang ke Indonesia bersama orang tua dan dua adiknya. Mereka pindah dari Iran karena negaranya terlibat perang.
Namun, keberadaan imigran yang menyewa rumah-rumah warga dan penginapan di Puncak mulai menimbulkan keresahan masyarakat karena perbedaan budaya dan adat antara masyarakat setempat.
3.      Penanganan Para Pencari Suaka (Cisarua, Bogor)
Pada level kebijakan mekanisme untuk penanganan pengungsi dapat diketemukan dalam Peraturan Dirjend Imigrasi No IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, dimana setiap pengungsi yang masuk ke Indonesia akan dikenakan tindakan keimigrasian dalam bentuk penahanan sampai status pengungsinya ditetapkan oleh UNHCR. Namun penentuan status oleh UNHCR dapat memakan waktu sangat lama. Hal Ini berimbas pada munculnya pelanggaran HAM, karena pengungsi bukanlah pelaku kriminal namun ditempatkan pada situasi yang mirip dengan penahanan. Tak heran jika banyak di antara pengungsi yang mengalami tekanan psikologis dan berkeinginan kuat untuk bunuh diri atau kabur dari rumah detensi imigrasi tersebut. Contohnya yang terjadi pada 13 November 2011, sebanyak 13 pengungsi dan pencari suaka kabur dari Rudenim Tanjungpinang. Seorang dari mereka gagal menuruni gedung Rudenim terjatuh dan tewas, sementara seorang lainnya yang juga gagal kabur mengalami luka parah.
Hal yang paling penting untuk dilakukan dalam menangani pengungsi adalah kebijakan politik bilateral antar negara asal pengungsi (country of origin), dengan negara penerima pengungsi (host country). Pengembangan aturan hukum untuk perlindungan pengungsi ini dapat dilaksanakan dalam beberapa hal yaitu:
a.     Mengakses instrumen hukum / hak asasi manusia internasional tentang pengungsi antara lain Konvensi 1951 berikut Protokol 1967;
b.     Menyusun instrumen hukum/hak asasi manusia regional. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dilakukan dalam Organisasi persatuan Afrika (Organization of African Union) melalui Konvensi Tahun 1969, kemudian negara-negara Eropa melalui Konvensi Schengen 1985 dan Dubin 1990, serta negara-negara Amerika Latin melalui Cartagena Declaration 1984;
c.      Menyusun legislasi nasional tentang pengungsi, legislasi ini harus dilakukan dengan mengembangkan hukum nasional yang komprehensif dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip universal tentang perlindungan pengungsi.

Terdapat dua kerangka solusi bagi Indonesia dalam menangani masalah kaum migran ini :
1.    Perlunya kerja sama internasional terutama dengan negara-negara terdekat, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia.
2.    Perlu kerjasama dengan badan-badan internasional yang menangani imigran, seperti UNHCR dan IOM. 
Bila merujuk pada UU No. 6 Tahun 2011, maka penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi akan dikategorikan sebagai imigran ilegal, karena secara prosedur, mereka telah masuk wilayah Indonesia dengan tidak memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah, serta tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang telah ditentukan.
Masih banyak tantangan yang dihadapi Indonesia, karena Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi 1951. Lagipula, desakan masyarakat untuk menolak kehadiran mereka juga pasti akan terjadi.
Untuk penanganan pencari suaka dan pengungsi ke depannya akan dibebankan melalui APBN. Tentu, ini akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Negara seperti Singapura, Malaysia, bahkan Australia sekalipun yang secara finansial merupakan negara mapan, dengan tegas menolak kehadiran pencari suaka dan pengungsi. Menurut data yang dilansir bps.go.id per Maret 2014, penduduk miskin Indonesia berjumlah 28.280.010 orang. Itu berarti sekitar 11,25% penduduk Indonesia saat ini berada dibawah garis kemiskinan. Lantas, dengan realita kondisi seperti ini, apakah pantas Indonesia lebih mementingkan nasib orang lain, daripada masyarakat sendiri?
Oleh karena itu, persoalan penanganan imigran ilegal, ibarat memakan buah simalakama. Di satu sisi, Indonesia tidak berkewajiban menangani imigran ilegal, karena tidak menandatangani Konvensi 1951 tentang Pengungsi beserta Protokol 1967. Tapi di sisi lain permasalahan ini berkaitan erat dengan aspek kemanusian, yang telah menjadi diskusi global. Belum lagi kebijakan “role back a boat” dari Australia ke perairan Indonesia, semakin membuat Indonesia berada dalam posisi yang sulit. Dialektika semacam ini, cepat atau lambat akan merugikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Tidak adanya kepastian hukum, tentu berdampak pada penanganan imigran ilegal ke depannya.

B.    Dampak Sosial Keberadaan rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat (Cisarua, Bogor)
Dengan beradaan rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka tentu saja akan berberdampak terhadap masyarakat, baik dampak negatif ataupun positif. Adapun dampak negatif dari adanya adalah sebagai berikut :
a.     Adanya tindakan kriminal yang dilakukan oleh deteni, seperti pencurian.
b.     Rawan peredaran narkoba dan minuman keras.
c.      Masalah sosial perkawinan campuran.
d.     Adanya sindikat penyelundupan manusia.
e.     Membuat keresahan dalam masyarakat seperti membuat kegaduhan, pelecehan terhadap wanita disekitar wilayah rumah-rumah penyewaan.
f.       Berubahnya pola penyelesaian masalah yang tadinya dengan musyawarah mufakat berganti dengan ada uang segala permasalahan beres.
g.     Adanya agen yang memberikan adanya jaminan tempat tinggal untuk para imigran gelap  dan adanya oknum UNHCR yang membuat surat status kejelasan dari imigran gelap menjadi refugee dalam waktu cepat. Sehingga mengakibatkan semakin banyak imigran gelap yang berdatangan ke cisarua, selain faktor tersebut diatas ada faktor lain yang membuat betah para imigran gelap tinggal dicisarua yaitu cuaca yang dingin dan sejuk.
h.     Terjadinya perpecahan dalam masyarakat yaitu masyakarat yang menerima dan menolak adanya imigran gelap. Masyarakat yang menerima adalah masyarakat yang mendapat keuntungan dari imigran gelap berupa materi sedangkan masyarakat yang menolak adalah masyarakat yang tidak menerima keuntungan.

Adapun dampak positif dari keberadaan para pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan adalah meningkatknya taraf ekonomi masyarakat sekitar rumah-rumah penyewaan.

1.      Contoh kasus dampak sosial keberadaan rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat (Cisarua, Bogor)
Terletak di sebelah selatan kota Bogor Jawa Barat, Cisarua kini menjadi pusat bagi para pencari suaka dari Asia, Timur Tengah dan Afrika yang nyaris putus asa untuk mencari negara baru yang bisa mereka sebut tempat tinggal. Di wilayah pegunungan yang terkenal karena curah hujannya yang tinggi, trauma menjadi ikatan pahit diantara orang asing di wilayah yang jauh. Mereka berkumpul di kantung-kantung kecil, di wilayah padat, mempertahankan profil mereka untuk menghindari anggapan buruk dari warga setempat. Tak bisa bekerja atau menuntut ilmu, kehidupan mereka seolah terlupakan, dihantui masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Mulanya para pencari suaka dari Iran dan Iraq tertarik dengan kota yang warga setempatnya mampu berbicara bahasa Arab (Pria-pria Saudi secara sejarah dikenal berlibur ke wilayah ini untuk menyalurkan hasrat duniawinya). Warga Sudan, Eritrea, Somalia, Afghanistan, India, Sri Lanka, Mynamar dan Pakistan menyusul, terpikat oleh solidaritas, kemampuan, suhu yang lebih rendah dan kedekatan dengan kantor UNHCR di Jakarta.
Kedatangan para imigran ke wilayah Indonesia ini jumlahnya terus meningkat, sehingga mulai menimbulkan ketidaknyamanan serta berpeluang memicu gangguan sosial, keamanan, politik, bahkan ketertiban di masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian atau penempatan ke negara penerima, termasuk yang dipulangkan secara suka rela dan dideportasi dari wilayah Indonesia.
Keberadaan mereka sangat rentan baik dari sisi status, ekonomi serta psikologis sehingga berpeluang dimanfaatkan oleh jaringan penyelundupan manusia, perdagangan orang, narkoba, serta kegiatan kriminal lain termasuk jaringan terorisme internasional.  Hal ini bisa menimbulkan dampak serta berbagai masalah di Indonesia
Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor terhadap keberadaan para Imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor, konon berawal dari ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu dengan keberadaan para imigran.  Menurut masyarakat setempat, perilaku para imigran semakin seenaknya, bahkan mulai mengabaikan hukum di Indonesia.
Padahal salah satu kewajiban sebagai pencari suaka adalah mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlakudi indonesia. Meski ada perlindungan dari lembaga internasional semacam UNHCR maupun IOM, bukan berarti mereka kebal hukum. Bahkan lembaga internasional seperti UNHCR, mempersilahkan bila memang ada imigran yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia tanpa memandang status mereka sebagai pencari suaka atau pengungsi
Para pencari suaka ini tinggal di daerah Cisarua Bogor dengan menyewa rumah atau penginapan dengan biaya pribadi.  UNHCR mengidentifikasi pencari suaka seperti ini sebagai migran ekonomi atau migran mandiri.  Karena tersebar di beberapa titik, migran mandiri ini memiliki resiko menimbulkan gangguan yang lebih besar di masyarakat. 
Para imigran yang datang dan transit diIndonesia, sebagian besar tidak atas kemauan sendiri.  Mereka menggunakan jasa penyelundup terorganisir, yang mengarahkan mereka ke Indonesia sebagai wilayah terdekat menuju Australia. Untuk dapat diselundupkan ke Australia, mereka bahkan rela membayar ribuan dollar kepada penyelundup manusia.  Lalu apa motivasi mereka sehingga rela mempertaruhkan harta bahkan nyawa guna menuju Australia?
Tampaknya situasi keamanan yang tidak menentu, masalah ekonomi, prospek pendidikan yang tidak jelas, termasuk menyatukan kembali keluarga mereka menjadi motivasi utama mereka untuk keluar meninggalkan negaranya.
Dari beberapa kasus tenggelamnya kapal menuju Australia yang menyebabkan ratusan korban meninggal, rata-rata mereka lakukan karena merasa sudah tidak ada jalan lain, sehingga mereka akhirnya menempuh bahaya dengan taruhan nyawa agar bisa bergabung dengan keluarga yang sudah berada di negara tujuan.  Hal ini juga dipicu oleh lamanya proses penetapan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR, yang bisa berlangsung 2 tahun bahkan lebih.
Keberadaan para pencari suaka yang bermukim di tengah-tengah penduduk sering menimbulkan pro dan kontra.  Kelompok pro mengatakan bahwa pencari suaka ini ‘sumber devisa lokal’, karena segala kebutuhan hidup mereka selama tinggal di lokasi itu biasa dibeli di warung-warung milik warga.  Bagi yang kontra menyebutkan keberadaan mereka tidak sedikitpun membawa manfaat, justru mudharat di dapat. Perbedaan budaya merupakan pemicu ketegangan, yang bisa menyulut konflik sosial di masyarakat.
Salah satu pejabat di kelurahan Cibeureum, Cisarua menyatakan mereka tidak ada manfaat bagi warga justru mudharat yang kami dapat,perbedaan budaya menjadi pemicu ketegangan antar warga dengan ‘orang-orang Afgan’ (sebutan penduduk bagi para imigran, red), sambil memberikan ilustrasi : “saat bulan puasa, sebagai sesama muslim, mereka justru memberi contoh kurang baik.  Makan-minum seenaknya di tengah jalan, sambil tertawa-tawa.  Ini kan menyakitkan hati warga setempat”.
Di Cisarua keberadaan imigran semacam ini cukup banyak, mereka menyewa rumah atau penginapan di kampung-kampung, baik secara berkelompok atau sekeluarga.  Sangat disayangkan, mereka tidak pernah melaporkan keberadaan mereka ke pejabat kelurahan bahkan setingkat RT. Jadi kelurahan Cibeureum ini tidak tahu persisi berapa banyak pencari suaka ini tinggal di wilayah tersebut, para petugas kelurahan telah mencoba mendata dengan mengirimkan edaran untuk diisi oleh pemilik rumah, atau penginapan.  Namun hanya satu edaran saja yang kembali ke kelurahan selebihnya kosong.
Meski mereka tinggal di wilayah ini, namun para petugas kelurahan tidak pernah mendapatkan instruksi apapun mengenai langkah apa yang harus dilakukan terhadap para imigran tersebut, padahal sebagai pejabat pemerintah di lapis bawah, mereka ini bisa lebih sering melakukan kontak langsung dengan para imigran, para imigran ini susah di ajak bersosialisasi siang hari mereka tidur, malam hari mereka keluar berkumpul lalu membuat suara-suara gaduh, sehingga mengganggu warga sekitar.

C.   Solusi untuk mengurangi dampak negatif keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan
1.    Peran Pemerintah dalam menangulangi dampak sosial keberadaan rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka (Cisarua, Bogor)
Permasalahan mengenai arus pencari suaka yang memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang tak kunjung mereda, bahkan jumlah pencari suaka kini kian meningkat. Tercatat di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Jakarta, jumlah pencari suaka di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3.905 orang. Jumlah tersebut terus meningkat di tahun 2011 menjadi 4052 orang. Sampai dengan akhir Oktober 2014, sebanyak 6,202 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif, dan sebagian besar dari mereka berasal dari Afghanistan (59%), Iran (10%), Somalia (6%) dan Iraq (6%)[13]. Indonesia merupakan salah satu negara yang harus berhadapan dengan permasalahan orang asing seperti banyaknya pencari suaka yang singgah dan bahkan tinggal di Indonesia. Dengan konsekuensi letak geografis yang strategis, Indonesia merupakan tempat persinggahan favorit bagi gelombang pencari suaka ke negara tujuan yaitu Australia.
Kondisi di Indonesia saat ini hanya memiliki 13 rudenim untuk menampung para pencari suaka yang akhirnya singgah di Indonesia[14]. Tentunya jumlah rudenim tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan ribuan pencari suaka yang masuk ke Indonesia. Menteri Hukum dan HAM tahun 2011 Patrialis Akbar juga mengatakan tak jarang pemindahan para pencari suaka ke rumah-rumah biasa kerap dilakukan[15]. Tentunya dengan cara tersebut sangat berpotensi membuat semakin banyaknya pencari suaka yang tidak terdeteksi di Indonesia. Terlebih beberapa kasus permasalahan juga kerap terjadi di sejumlah rudenim, seperti kasus pencari suaka asal Afghanistan yang melarikan diri di Rudenim Pontianak pada 23 Februari 2012 dan kericuhan antar sesama imigran ataupun dengan masyarakat, seperti yang terjadi di rudenim Riau pada 28 Juli 2012[16].
Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang status pencari suaka dan pengungsi, sehingga tidak ada hukum nasional khusus yang mengatur tentang status dan keberadaan para pencari suaka di Indonesia. Selama ini penanganan atas pencari suaka dan pengungsi di Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai lembaga pengawas orang asing yang diberikan wewenang oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan Undang-Undang no 6 tahun 2011 tentang keimigrasian. Indonesia terpaksa menyerahkan kewenangan penentuan status pencari suaka pada UNHCR, dengan dibantu oleh IOM yang selama ini memberikan bantuan materi untuk kebutuhan pangan para pencari suaka yang tinggal di rudenim. Dalam setahun UNHCR hanya mengeluarkan 300 status pengungsi bagi pencari suaka[17]. Pencari suaka yang tercatat masuk ke Indonesia jumlah setiap tahunnya bertambah rata-rata 1.500 orang[18]. Tentu sisanya yang belum mendapat kepastian status pengungsi dari UNHCR tersebut menjadi beban yang harus ditanggung Indonesia. Selain lambatnya proses di UNHCR, IOM juga terkesan memanfaatkan rudenim Indonesia sebagai lokasi penampungan. Padahal, anggaran tempat untuk para pengungsi per orangnya sudah ada. Namun anggaran yang ditanggung IOM hanya biaya makan, padahal biaya tinggal per harinya bagi pengungsi adalah Rp 60.000, tapi itu terbebas karena mereka tinggal di rudenim. Hal tersebut menjadi bagian dari kerugian negara dalam pembiayaan para pencari suaka yang tinggal di rudenim.     
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2012 Amir Syamsuddin mengatakan di Puncak, Cisarua, Jawa Barat, terdapat banyak pencari suaka asal Timur Tengah yang menetap secara ilegal.
Pada akhir Oktober 2012 kantor imigrasi Bogor merespons ultimatum warga Cisarua yang menginginkan daerahnya bebas dari pencari suaka asal Timur Tengah yang berkeliaran di pemukiman warga khususnya daerah villa puncak Cisarua. Namun menurut Kepala Imigrasi Bogor Bambang Catur mengatakan pemindahan tersebut tidak bisa dilakukan sekaligus. Proses pemindahan tersebut memerlukan pendataan terhadap seluruh pencari suaka yang ada di Cisarua. Namun hingga Mei 2013 masih saja terdapat laporan pencari suaka yang berkeliaran di villa puncak Bogor[19]. Sampai saat ini Provinsi Jawa Barat belum memiliki rudenim untuk menampung para pencari suaka yang tertangkap, sehingga harus menunggu proses koordinasi terlebih dahulu apabila ingin memindahkan pencari suaka yang tertangkap melarikan diri tersebut. Kondisi di 13 Rudenim di Indonesia semuanya telah over capacity, sehingga masih sering ditemukannya pencari suaka yang tinggal di rumah-rumah warga maupun tempat penginapan dan ditengah-tengah masyarakat[20].
Menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pada tahun 2011, Komisaris Jenderal Ito Sumardi  Pencari suaka yang singgah di Indonesia rawan menjadi kurir kejahatan transnasional seperti kejahatan perdagangan narkotika dan terorisme[21] Saat ini penanganan masalah pencari suaka masih sangat parsial dan terbatas. Keterbatasan itu termasuk dalam hal sumber daya manusia, anggaran, sarana dan prasarana pada lembaga-lembaga terkait, melemahnya pengawasan pada jalur darat, laut dan udara, kendala dalam bidang teknologi, serta lemahnya hukum secara yuridik dan diplomatik[22]. Meski sudah terdapat beberapa bantuan dari pihak eksternal seperti UNHCR, IOM dan juga pemerintah Australia tetap saja Indonesia masih memiliki potensi terancamnya keamanan non-tradisional dengan singgahnya ribuan pencari suaka. Hal tersebut telah dikatakan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Timur Pradopo pada Januari lalu bahwa jumlah kasus kejahatan transnasional yang dialami Indonesia kini meningkat[23]. Data Polri menunjukkan bahwa tahun 2010, terjadi 10.444 kasus. Terdapat tiga kasus transnasional yang menonjol, yaitu kejahatan dunia maya, kejahatan narkoba dan kejahatan terorisme. Pada tahun 2011 naik menjadi 16.138 kasus. Data terbaru menunjukkan sepanjang 2012 Mabes Polri menangani 21.457 kasus transnasional, jumlahnya naik 24,78 persen dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2009 hingga 2012 terdapat empat tren kejahatan transnasional yang paling menonjol yaitu penyelundupan obat-obatan terlarang (narkotika), perdagangan manusia (trafficking), penyelundupan manusia dan terorisme[24].
Diakui Kapolri Timur Pradopo, tak semua kasus kejahatan transnasional tersebut bisa diselesaikan secara hukum di akhir tahun 2012 lalu. Dari total 21.457 kasus kejahatan transnasional pada tahun 2012, Polri baru dapat menyelesaikan 16.884 kasus. Sebanyak 4.573 kasus masih menjadi pekerjaan rumah bagi Polri untuk dituntaskan pada 2013 ini[25]. Sedangkan jumlah kasus yang disebabkan oleh para pencari suaka yang masuk ke Indonesia selama periode bulan Januari hingga bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus[26]. Angka ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan karena mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun sebelumnya, yaitu sebesar 31 kasus[27].Sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 Statuta UNHCR, salah satu fungsi UNHCR adalah mencari solusi permanen bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi. UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan, yaitu:
1.  Pemulangan sukarela ( Repatriation)
Syarat yang diperlukan untuk pemulangan pengungsi secara sukarela ke Negara asalnya adalah keamanan dan pulihnya perlindungan nasional.  Jika keduanya belum ada, seringkali pemulangan pengungsi hanya bersifat sementara.
2.  Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
Pemindahan pengungsi ke Negara ketiga ini merupakan alat perlindungan terhadap pengungsi yang hidup, kebebasan, keamanan, kesehatan dan hak fundamental lainnya menghadapi resiko di Negara suaka.
3.  Resettlement merupakan bentuk berbagi beban dan tanggung jawab antara para peserta Konvensi 19513
Integrasi lokal Dalam integrasi lokal, Negara suaka menawarkan agar pengungsi dapat tinggal secara permanen diwilayahnya. Sehingga kemunginan naturalisasi kewarganegaraan pengungsi. Integrasi lokal terjadi melaui beberapa tahapan :
a)  Pengungsi mendapat hak yang semakin luas, sehingga sama dengan yang dinikmati oleh warga Negara dari Negara suaka, kemudian pengungsi diijinkantinggal secara permanen dan kemungkinan naturalisasi 
b)  Pengungsi semakin tidak bergantung dengan bantuan dari Negara suaka maupun bantuan kemanusiaan lainnya karena telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
c)  Pengungsi berpartisipasi dalam kehidupan sosial di Negara barunya

Namun, solusi yang terakhir tidak berlaku di Indonesia karena pemerintah tidak memberikan izin tinggal secara Permanen di Indonesia bagi pengungsi. Penempatan di negaraketiga sejauh ini masih menjadi satu-satunya solusi bagi mayoritas pengungsi di Indonesia. Dalam menjalankan solusi-solusi yang disebut di atas, UNHCR bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah, organisasi, dan instansi swasta untuk memudahkan repatriasi secara sukarela para pengungsi dan reintegrasi ke negara asala mereka, integrasi para pengungsi di Negara pemberi suaka atau di Negara pengungsi dimukimkan kembali (resettlement ). Bila perlu UNHCR akan memberikan bantuan material untuk jangka waktu pendek.


BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dalam analisis dan pembahasan masalah yang penulis kemukakan, maka dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Latar belakang adanya rumah-rumah penyewaan di cisarua bogor adalah karena faktor ekonomi masyarakat sekitar yang beranggapan dengan adanya pencari suaka akan mendatangkan devisa bagi mereka.
2.      Keberadaan para pencari suaka di Cisarua bogor memberikan dampak sosial terutama dampak negatif seperti munculnya keresahan masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya imigran di sekitar, timbulnya tindak kriminal, terjadinya pelecehan terhadap wanita yang dilakukan oleh pencari suaka yang notabenenya adalah imigran gelap, berubahnya pola budaya penyelesaian masalah dengan musyawarah mufakat berganti dengan ada uang segela permasalahan bisa diselesaikan,  serta munculnya oknum-oknum UNHCR yang mempermudah masalah surat kejelasan status imigran.
3.    Indonesia juga harus memperhatikan keadaan dari pengungsi karena adanya imigran yang mencari perlindungan atau suaka, jadi pemerintah harus bisa menangani dan menempatkan mereka di tempat yang seharusnya sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi No IMI-1489.UM.08.05, tertanggal 17 September 2010 tentang penanganan imigran legal. Serta diperlukannya kebijakan yang kuat baik dasar hukumnya bentuknya dan sanksinya agar masalah apapun yang berhubungan dengan imigran gelap dapat diselesaikan denga adil, akan tetapi sampai saat ini tidak ada kelembagaan di Indonesia yang efektif untuk mengurangi dampak keberadaaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan.

B.    Saran
1.      Perlu adanya kesadaran dari masyarakat untuk tidak menyediakan rumah-rumah penyewaan untuk para pencari suaka yang tidak taat hukum.
2.      Untuk menanggulangi dampak negatif dari adanya rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka hendaknya pemilik rumah tersebut melaporkan kepada pihak yang berwenang dan jangan menutupi kesalahan yang di lakukan oleh pencari suaka tersebut.
3.      Untuk mengurangi dampak negatif keberadaan pencari suaka  di tempat rumah-rumah penyewaan adalah kerjasama antar instansi dalam hal ini pemenrintah daerah, imigrasi dan aparat keamanan untuk melakukan sosialisi ke masyarakat tentang penanggulangan terhadap pencari suaka agar masyarakat menjadi sadar hukum dan tidak mau menjadi bagian dari agen ataupun oknum yang memberikan jaminan berupa rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka.

Demikianlah Kertas Kerja Perorangan ini penulis buat,dan penulis sadar karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, jika terjadi kesalahan dalam penulisan kata ataupun penyusunan kalimat dalam karya ilmiah ini, mohon pembaca dapat mengoreksi demi kesempurnaan penyusunan karya ilmiah ini dan karya ilmiah berikutnya di masa mendatang.



[1] Dr M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam Migrasi Manusia, Pustaka Reka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 2.
[2] Seorang pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan
 “Siapa yang kami bantu”. dalam http://www.unhcr.co.id/id/ diakses pada tanggal 23-09-2014
[4] Gordon H. Hanson, 2007: 3-8
[5] Friedrich Heckmann, 2004: 1106
[6] http://jrs.or.id/refugee/
[7] http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pencari-suaka
[8] Haryomataram, 1998: 9-10
[9] http://www.forest-trends.org/documents/files/doc_3910.pdf
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat
[13] “Siapa yang kami bantu”. dalam http://www.unhcr.or.id/id/. diakses pada tanggal 15-11-2014
[15] “Jumlah rudenim di Indonesia masih mencukupi”. dalam http://makassar.antaranews.com/berita/25380/jumlah-rudenim-di-indonesia-masih-mencukupi. diakses pada 10-10-2012
[16] “Imigran gelap akan jadi bom waktu bagi Indonesia”, dalam http://www.indosiar.com/fokus/imigran-gelap-akan-jadi-bom-waktu-bagi-indonesia_84328.html.  diakses pada 10-10-2012
[17]“By Invitation Only, Australian Asylum Policy”.(nd). A Human Rights Watch Report. Pp. 56-57
[18]Prins David Saut. “Australia sebut Indonesia basecamp para pencari suaka”. dalam http://news.detik.com/read/2012/09/18/121235/2023786/10/australia-sebut-indonesia-basecamp-para-pencari-suaka?nd771104bcj, diakses pada 25-03-2013
[20] “Empat Puluh Lima Pencari Suaka Segera Diberangkatkan di Rudenim” dalam http://surabaya.tribunnews.com/2013/04/26/45-imigran-segera-berangkat-ke-rudenim. diakses 08-10-2014
[21] Wayan Agus Purnomo. 2011. “Pencari Suaka Rawan Menjadi Kurir Transnasional” dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/03/29/063323718/Pelintas-Batas-Rawan-Jadi-Kurir-Transnasional. diakses 08-10-2014
[22]Admin Humas Mabes Polri. “Penyebab kejahatan transnasional”. http://www.polri.go.id/kasus-all/ks/t/. diakses pada 11-10-2014
[23] ibid
[24]Admin Humas Mabes Polri. “Penyebab kejahatan transnasional”. http://www.polri.go.id/kasus-all/ks/bt/. diakses pada 13-03-2013
[26] ibid
[27] ibid