DAMPAK
SOSIAL KEBERADAAN PENCARI SUAKA DI RUMAH-RUMAH
PENYEWAAN
TERHADAP MASYARAKAT SETEMPAT
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Isu
Migrasi tidak dapat dipisahkan dari kondisi suatu masyarakat terutama jika
ditinjau dari istilah migrasi dan elemen-elemen yang berada di dalamnya yang
memainkan peranan, pengaruh dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan. Secara singkat dikatakan bahwa pengertian
migrasi secara umum merupakan perpindahan penduduk antar negara.
Dalam
perkembangannya, terjadi perubahan mengenai Migrasi dari pandangan klasik
tentang migrasi internasional yang memandang hanya sebagai perpindahan penduduk
antar negara untuk tujuan menetap berubah menjadi pandangan modern yang
memandang pengertian migrasi transnasional tidak semata-mata mencangkup
perpindahan penduduk secara individual antar negara untuk menetap tetapi juga
meliputi pergerakan manusia antar negara tidak untuk menetap dan dilakukan
secara berkelompok dan terorganisir. Perkembangan teknologi informasi dan
transportasi kian meningkat sehingga membuat batas-batas antar negara semakin
semu. Jalur lalu lintas pun semakin
mudah untuk diakses, hal ini menyebabkan meningkatnya pula
mobilitas barang dan
manusia antar satu negara ke
negara lain.
Meningkatnya jumlah manusia dan juga semakin meningkatnya perkembangan jaman
dan pengaruh globalisasi. Jelas
menyebabkan banyak hal-hal yang terjadi mulai dari meningkatnya perdagangan
yang bebas, semakin dekatnya hubungan antar Negara baik dalam bentuk
perjanjian, kerjasama ekonomi dan bentuk kerjasama lainnya.
Bentuk lain dari pengaruh perkembangan jaman yang cepat dan globalisasi
yang kuat juga menimbulkan banyak masuknya pengaruh dari luar Indonesia, baik
berupa pemikiran dan gaya hidup, teknologi yang berkembang juga semakin
berkembang menyebabkan banyaknya jenis elektronik.
Permasalahan yang juga segaris dengan perkembangan dengan meningkatnya
globalisasi ini adalah masalah masuknya warga Negara asing ke Indonesia yang
datang karena sekedar ingin berlibur, lalu karena panggilan kerja, dan belajar
sebagai mahasiswa asing. Secara langsung ini meningkatkan tingkat
kepopuleran Indonesia di mata internasional karena semakin banyaknya yang masuk
ke Indonesia menunjukan Indonesia memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan
dari mereka para warga Negara asing, bahkan tidak sedikit yang akhirnya meminta
untuk menjadi warga tetap Negara Indonesia.
Di sisi lain dimana ada sesuatu yang legal maka akan ada juga yang ilegal,
warga Negara asing yang datang secara legal harus mengurus
dokumen-dokumen. Tapi untuk mereka yang masuk secara illegal mereka masuk
dengan sembunyi-sembunyi yang kemudian akan disebut imigran gelap. Datangnya imigran gelap yang kini justru
semakin meningkat yang mungkin karena disebabkan kedaan dunia internasional
yang sedang tidak stabil baik di bidang ekonomi maupun hankam. Hal-hal
tadi mendorong maraknya imigran baik legal maupun illegal.
Permasalahan mengenai arus
pencari suaka yang memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
memang tak kunjung mereda, bahkan jumlah pencari suaka kini kian meningkat.
Tercatat di United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR) di Jakarta, jumlah pencari
suaka di Indonesia pada tahun 2010
mencapai 3.905 orang. Jumlah tersebut terus meningkat di tahun 2011
menjadi 4052 orang. Sampai dengan akhir Juli 2014 terdapat 3,983 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif. Mereka sebagian
besar datang dari Afghanistan (35%), Myanmar (23%), Sri Lanka (8%) dan Somalia (8%).
Indonesia merupakan salah satu negara yang harus
berhadapan dengan permasalahan orang asing seperti banyaknya pencari suaka yang
singgah dan bahkan tinggal di Indonesia.
Dengan
konsekuensi letak geografis yang strategis, Indonesia merupakan tempat
persinggahan favorit bagi gelombang pencari suaka ke negara tujuan yaitu
Australia.
Permasalahan yang akan timbul setelah meraka datang adalah bagaimana kehidupan
para imigran gelap di Indonesia?, apa mereka dapat mendapat hak sebagaimana
warga Negara asing pada umumnya, lalu apa sebenarnya yang menyebabkan banyaknya
imigran gelap datang?, Apakah semudah itu memasuki Indonesia. Jika di
kaitkan dengan dengan masyarakat, tentunya dengan adanya imigran gelap sangat
berpengaruh terhadap masyarakat. Mulai dari dampak negatif dan positif
keberadaan imigran gelap. Dampak Inilah yang menjadi sebuah fenomena yang
menarik dan juga menggelitik karena pasti ada alasan kenapa terdapat
rumah-rumah penyewaan yang di pakai oleh pencari suaka. Oleh sebab itu penulis mengangkat ini menjadi sebuah topik penulisan
dengan judul “DAMPAK SOSIAL KEBERADAAN PENCARI SUAKA DI RUMAH-RUMAH PENYEWAAN TERHADAP
MASYARAKAT SETEMPAT”
B.
Identifikasi masalah dan rumusan masalah
1.
Apa saja
yang melatar belakangi adanya rumah-rumah
penyewaan bagi pencari suaka?
2.
Bagaimana
dampak positif dan negatif keberadaan pencari suaka di tempat
rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat?
3.
Bagaimana
solusi untuk untuk mengurangi dampak
negatif keberadaan pencari suaka di tempat
rumah-rumah penyewaan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
latar belakang adanya rumah-rumah
penyewaan;
2.
Untuk
mengetahui dampak positif dan negatif keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan terhadap
masyarakat setempat;
3.
Untuk mengetahui
solusi mengurangi dampak negatif keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah
penyewaan;
D.
Kegunaan Teoritis dan praktis
1.
Teoritis
Penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat, dalam
menjelaskan tentang dampak keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah sewa terhadap masyarakat setempat.
2.
Praktis
a. Bagi
penulis
1) Untuk memenuhi persyaratan
yang wajib diselesaikan oleh Penulis sebagai syarat kelulusan dari Pendidikan
Khusus Keimigrasian Angkatan III serta agar bisa dilantik menjadi Pejabat
Imigrasi.
2) Menambah ilmu pengetahuan
dan pengalaman sehingga membangkitkan rasa ingin tahu.
3) Dapat membuktikan sejauh
mana kemampuan kita di bangku Pendidikan Khusus Keimigrasian (DIKSUSKIM) dengan cara praktek kerja nyata.
b. Bagi Masyarakat
Menciptakan masyarakat yang positif kooperatif
c. Bagi Instansi
1) Proses pendidikan khusus
keimigrasian akan lebih baik lagi dengan adanya praktek kerja nyata.
2) Dapat menghasilkan lulusan
yang kompeten dibidang keimigrasian.
E.
Metode Penelitian
Penyusunan Kertas Kerja Perorangan ini, penulis dalam
mendapatkan data yang dibutuhkan maka penulis menggunakan metode sebagai
berikut :
1.
Metode yang digunakan
dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptif dengan tekhnik analisi
isi, studi pustaka dengan membaca artikel yang terkait dan buku relefan lainnya
sebagai acuan penelitian dalam pembuatan tugas akhir ini serta wawancara terhadap warga dan
pejabat kelurahan Cibeurum Cisarua Bogor.
2.
Analisis Masalah
Lingkup permasalahan yang diteliti
adalah mengenai dampak keberadaan pencari suaka di rumah-rumah sewa terhadap masyarakat setempat
F. Kerangka
Penulisan
Adapun kerangka penulisan yang penulis buat adalah sebagai berikut
:
BAB I Pendahuluan
Membahas tentang
latar belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Teoritis dan
Praktis, Metode Penelitian dan kerangka Penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Membahas tentang
pengertian Migrasi, Imigran Gelap, Asylum
seeker / refugee / pengungsi, masyarakat, pencari suaka dan dampak sosial.
BAB III Pembahasan
Membahas tentang Keberadaan pencari suaka (Cisarua, Bogor
Indonesia), Dampak sosial keberadaan pencari suaka di rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat
setempat (Cisarua, Bogor), Pengumpulan fakta dalam penanganan dampak sosial
keberadaan pencari suaka di rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat
(Cisarua, Bogor), Peran Pemerintah dalam menangulangi dampak sosial keberadaan
pencari suaka di rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka (Cisarua, Bogor).
BAB IV Penutup
Berisi tentang Kesimpulan
dan Saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Migrasi
Migrasi
yang terjadi selama ini baik yang terjadi di Indonesia ataupun belahan dunia
lain adalah sebuah peristiwa yang tidak dapat dihindarkan. Jika
dipertanyakan sejak kapan adanya migrasi mungkin akan ada banyak versi, tapi
yang jelas migrasi sudah ada sejak peradaban manusia itu pun ada.
Migrasi
Penduduk atau migrasi manusia adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke
daerah lain, berjarak jauh dan terbentuk dalam kelompok yang besar yang
tujuannya adalah menetap di suatu daerah. Migrasi melintasi perbatasan wilayah,
provinsi, negara, atau internasional. Orang-orang yang bermigrasi ke wilayah
yang disebut imigran, sementara pada titik keberangkatan mereka disebut
emigran.
Migrasi
disebut juga dengan mobilitas penduduk yang definisi nya sama yaitu perpindahan
penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk terbagi dua yaitu
bersifat nonpermanen atau sementara misalnya turis baik nasional maupun manca
negara, dan ada pula mobilitas penduduk yang bersifat permanen atau menetap di
suatu daerah. Mobilitas penduduk permanen disebut migrasi.
Macam-macam migrasi
itu sendiri adalah :
1.
Migrasi
internasional (migrasi antarnegara)
Migrasi
internasional (migrasi antarnegara) adalah perpindahan penduduk dari suatu
Negara ke Negara lain. Migrasi internasional meliputi imigrasi, emigrasi, dan
remigrasi. Imigrasi, yaitu masuknya penduduk dari Negara lain ke suatu
Negara dengan tujuan menetap.
Emigrasi,
yaitu berpindahnya penduduk atau keluarnya penduduk dari suatu Negara ke Negara
lain dengan tujuan menetap. Remigrasi, yaitu kembalinya penduduk dari
suatu Negara ke Negara asalnya.
2.
Migrasi internal
(migrasi nasional)
Migrasi
internal (migrasi nasional) adalah perpindahan penduduk yang masih berda dalam
lingkup satu wilayah Negara.
Faktor-Faktor yang menyebabkan migrasi
Berikut ini adalah beberapa
faktor yang menyebabkan manusia / orang pelakukan aktifitas migrasi
:
1. Alasan Politik / Politis, Kondisi perpolitikan suatu
daerah yang panas atau bergejolak akan membuat penduduk menjadi tidak betah
atau kerasan tinggal di wilayah tersebut.
2. Alasan Sosial Kemasyarakatan, Adat-istiadat yang
menjadi pedoman kebiasaan suatu daerah dapat menyebabkan seseorang harus
bermigrasi ke tempat lain baik dengan paksaan maupun tidak. Seseorang yang
dikucilkan dari suatu pemukiman akan dengan terpaksa melakukan kegiatan
migrasi.
3. Alasan Agama atau Kepercayaan, Adanya tekanan atau
paksaan dari suatu ajaran agama untuk berpindah tempat dapat menyebabkan
seseorang melakukan migrasi.
4. Alasan Ekonomi, Biasanya orang miskin atau golongan
bawah yang mencoba mencari peruntungan dengan melakukan migrasi ke kota. Atau
bisa juga kebalikan di mana orang yang kaya pergi ke daerah untuk
membangun atau berekspansi bisnis.
5. Alasan lain, Contohnya seperti alasan pendidikan,
alasan tuntutan pekerjaan, alasan keluarga, alasan cinta, dan lain sebagainya.
B. Imigran Gelap (Illegal migration)
Illegal migration diartikan
sebagai suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap
dapat pula berarti bahwa menetap di suatu wilayah melebihi batas waktu
berlakunya izin tinggal yang sah atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan
untuk masuk ke suatu wilayah secara sah.
Terdapat
tiga bentuk dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi
perbatasan secara ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi
perbatasan dengan cara, yang secara sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi),
tetapi sesungguhnya menggunakan dokumen yang dipalsukan atau menggunakan
dokumen resmi milik seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan
dokumen remsi dengan tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang tetap
tinggal setelah habis masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi.
Philip
Martin dan Mark Miller menyatakan bahwa smuggling merupakan suatu istilah yang
biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok, demi keuntungan, memindahkan
orang-orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan Undang-Undang) untuk
melewati perbatasan suatu negara. Sedangkan PBB dalam sebuah Konvensi tentang
Kejahatan Transnasional Terorganisasi memberikan definisi dari smuggling of
migrants sebagai sebuah usaha pengadaan secara sengaja untuk sebuah keuntungan
bagi masuknya seseorang secara ilegal ke dalam suatu negara dan/atau tempat
tinggal yang ilegal dalam suatu negara, dimana orang tersebut bukan merupakan
warga negara atau penduduk tetap dari negara yang dimasuki (Philip, op cit).
Sedangkan pengertian people smuggling
adalah sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan ilegal yang terorganisasi
dari sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan internasional,
biasanya dengan melakukan pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migran
merupakan suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh
suatu keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan
seseorang yang bukan warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu
secara ilegal ke negara tersebut.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang
harus ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk menyatakan suatu tindakan
tersebut tergolong people smuggling,
yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal batas antar negara, aktivitas tersebut
merupakan aktivitas yang bersifat ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud
untuk mencari keuntungan.
C. Pencari suaka
dan pengungsi
1. Pengertian pencari suaka
Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk
mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan.
Mereka
yang tidak memperoleh status pengungsi disebut sebagai pencari suaka.
2. Pengertian Pengungsi
Ada perbedaan pengertian pengungsi sebelum dan sesudah
tahun 1951. Perbedaan ini didasarkan pada isi perjanjian internasional,
terutama mengenai pengertian Pengungsi.
Pengungsi dalam Perjanjian Internasional sebelum 1951
pada prinsipnya adalah pengungsi yang berasal dari daerah-daerah tertentu. Jadi
di sini didasarkan dari orang-orang yang berasal dari daerah-daerah tertentu.
Jadi di sini didasarkan dari orang-orang yang berasal dari daerah tertentu,
yang karena keadaan daerah tertentu, yang karena keadaan daerahnya terpaksa
keluar. Perlindungan menurut Hukum Internasional dalam hal ini hanya
orang-orang tertentu tersebut dan tidak dimaksudkan untuk melindungi pengungsi
secara umum.
Pengertian pengungsi dalam perjanjian Internasional
setelah tahun 1951 diartikan secara general (umum), tidak hanya daerah
tertentu, Cuma dalam konvensi ini masih ada pembatasan yaitu pembatasan waktu
dimaksudkan adalah hanya mereka yang mengungsi sebelum 1 Januari 1951, jadi ada
Dateline (batas tanggal) walaupun secara geografis tidak dibatasi. Persoalan
yang timbul ialah mengapa dalam konvensi tersebut perlu dibatasi dalam konvensi
tersebut?
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 pada prinsipnya hampir
sama. Ada tiga hal pokok yang merupakan isi konvensi tersebut, yaitu :
1) Pengertian
dasar pengungsi.
Pengertian
dasar Pengungsi diartikan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 penting
diketahui sebab diperlukan untuk menetapkan status pengungsi seseorang
(termasuk pengungsi atau bukan). Penetapan ini ditetapkan oleh negara tempat
orang itu berada dan bekerja sama dengan UNHCR
(United Nation High Commissioner
For Refugee), yang menangani masalah pengungsi dari PBB.
2) Status
hukum Pengungsi, hak dan kewajiban pengungsi di negara tempat pengungsian (hak
dan kewajiban berlaku di tempat pengungsian itu berada).
3) Implementasi
(pelaksanaan) perjanjian, terutama menyangkut administrasi dan hubungan
diplomatik. Di sini titik beratnya administrasi dan hubungan diplomatik. Di
sisni titik beratnya ialah pada hal-hal yang menyangkut kerja sama dengan
UNHCR. Dengan demikian, UNHCR dapat melakukan tugasnya sendiri dan melakukan
tugas pengawasan, terutama terhadap negara-negara tempat pengungsi itu berada.
Macam-macam Pengungsi
Latar belakang terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan
dalam dua jenis, yakni :
1) Pengungsian
karena bencana alam (Natural Disaster).
Pengungsian ini pada prinsipnya masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya,
dan orang-orang ini masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.
2) Pengungsian
karena bencana yang dibuat Manusia (Man
Made Disaster). Pengungsian disini pada prinsipnya pengungsi keluar dari
negaranya karena menghindari tuntutan
(persekusi) dari negaranya. Biasannya pengungsi ini karena lasan politik
terpaksa meninggalkan negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat
perlindungan dari pemerintah dimana ia berasal.
Dari dua jenis pengungsi di atas yang diatur oleh Hukum
Internasional sebagai Refugee Law
(Hukum Pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam
itu tidak diatur dan dilindungi oleh Hukum Internasional.
Ada suatu istilah
pengungsi yang disebut Statutory Refugees.
Yang dimaksud Statutory Refugees
adalah Pengungsi-pengungsi yang berasal
dari suatu negara tertentu yang tidak mendapatkan perlindungan
diplomatik dari negaranya (negara asalnya). Yang dapat dikategorikan sebagai Statutory Refugees adalah mereka yang
memenuhi persyaratan seperti yang disebut dalam perjanjian Internasional
sebelum 1951.
Sebenarnya, sebelum 1951 sudah ada persetujuan
Internasional yang sifatnya Regional atau setempat misalnya di Amerika, Eropa,
yang membuat peraturan-peraturan pengungsi tetapi hanya berlaku setempat.
Perjanjian Internasional yang sifatnya regional biasanya menyangkut tiga hal,
yaitu :
1) Pemberian
Asylum
2)
Travel
Document
3)
Travel
Facilities
Pemberian Asylum
terutama di negara-negara Amerika Latin, yaitu dengan membuat banyak perjanjian-perjanjian Regional, di
samping juga terdapat di Afrika tentang aspek-aspek khusus dari masalah
pengungsi yang ditanda tangani 1969, kemudan di Asia yang berupa Deklarasi yaitu
pernyataan oleh Komite Konsultatif hukum Asia-Afrika di Bangkok,
Anggota-anggotanya adalah Sarjana hukum
dari Asia dan Afrika, diadakan pada tahun 1966 yang menyatakan prinsip-prinsip
perlakuan terhadap pengungsi ada sifatnya Universal dan ada yang sifatnya
Regional, akan tetapi sudah pengungsi dalam arti yang umum.
1) Statutory Refugee
adalah status dari suatu pengungsi sesuai dengan persetujuan interansional
sebelum tahun 1951.
2) Convention Refugee
adalah status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Di sini
pengungsi berada pada suatu negara pihak/peserta konvensi. Yang menetapkan
status pengungsi adalah negara tempat pengungsian (negara dimana pengungsi itu
berada) denga kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja sama itu
misalnya: dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan status
pengungsi, bentuk kerjasama lainnya neagar yang bersangkutan menyerahkan
mandate sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu teramsuk
pengungsi atau tidak
3) Mandate Refugee
adalah menentukan status pengungsi bukan dari konvensi 1951 dan Protokol 1967
tapi berdasar mandate dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada negara yang
bukan peserta konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang menetapkan
status pengungsi adalah UNHCR bukan negara tempat pengungsian. Mengapa Mandate
Refugee tidak ditetapkan oleh negara tempat pengungsi? Hal ini disebabkan
karena negara tersebut bukan negara pihak dalam konvensi tadi, akibatnya ia tidak
bisa melakukan tindakan hukum seperti dalam konvensi tadi.
4) Pengungsi-pengungsi
lain (sebab manusia):
Ada
yang tidak dilindungi oleh UNHCR, misalnya : PLO, sebab PLO sudah diurus dan
dilindungi badan PBB lain maka tidak termasuk lingkungan kekuasaan UNHCR.
Selanjutnya
Haryo mataram membagi dua macam “Refugees,
yaitu Human Rights Refugees dan
Humanitarian Refugees.
(a) Human Rights Refugees
adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka
karena adanya “fear of being persecuted”,
yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik. Telah
ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari Human Rights Refugees ini.
(b) Humanitarian Refugess
adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena
merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk
dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi,
dianggap sebagai “alien” Menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan
sebagai “protected persons”. Dengan
demikian mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik daam Konvensi
Geneva 1949 (terutama Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan I-1977.
(c)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa,
baik International Humanitarian Law
maupun International refugees Law,
mengatur masalah “refugees”. International Humanitarian Law
memberikan perlindungan kepada “humanitaran
refugees”, sedang International
Refugees Law mengatur “human rights
refugees”.
D.
Dampak Sosial
Dampak sosial adalah dampak-dampak yang mencakup semua
konsekuensi sosial dan budaya atas suatu kelompok manusia tertentu yang
diakibatkan setiap tindakan publik atau swasta yang mengubah cara-cara
bagaimana orang menjalani kehidupan, bekerja, bermain, berhubungan satu sama lain,
mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidup mereka, dan secara umum berupaya menjadi
anggota masyarakat yang layak.
E.
Rumah-rumah Penyewaan
Penyewaan adalah sebuah persetujuan di mana sebuah pembayaran dilakukan
atas penggunaan suatu barang atau properti secara sementara
oleh orang lain. Barang yang dapat disewa bermacam-macam, tarif dan lama sewa
juga bermacam-macam.
Rumah-rumah penyewaan adalah rumah-rumah yang
disewa dengan sebuah persetujuan dengan tarif tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu.
F. Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society)
adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi
terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut.
Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung
satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok
orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh
Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah
masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama.
Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka
berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat
adalah sistem hidup secara bersama, di mana maksud dari hidup bersama ini bahwa
dapat menimbulkan kebudayaan sehingga setiap anggota masyarakatnya pun merasa
dirinya masing-masing bisa melekat dan terikat pada kelompoknya tersebut.
Pada Pengertian
Masyarakat dikatakan bahwa sejumlah manusia ini merupakan satu kesatuan
golongan yang berhubungan dengan tetap dan memiliki dasar kepentingan yang
sama. Misalkan saja yaitu pada sekolah, keluarga, perkumpulan atau komunitas,
serta negara di mana semuanya adalah masyarakat. Pada ilmu sosiologi dapat
kita mengetaui bahwa ada dua macam masyarakat, yaitu pertama masyarakat
paguyuban dan masyarakat petambayan. Maksud keduanya adalah masyarakat
paguyuban ini terdapat sebuah hubungan secara pribadi antara anggota-anggotanya
sehingga menimbulkan ikatan batin antar pelaku-pelakunya. Dan sedangkan pada masyarakat
petambayan tersebut adalah masyarakat yang memiliki hubungan pamrih dan murni
dari para pelakunya serta ada saling keterkaitan antara pelakunya.
Masyarakat
tidak begitu saja hadir seperti sekarang ini, tetapi dengan adanya
perkembangan yang diawali dengan masa lampau sampai sekarang ini dan terdapat
bahwa ada masyarakat yang mewakili masa tersebut. Masyarakat ini lalu
berkembang dengan mengikuti perkembangan zaman sehingga ada kemajuan yang
diperoleh dari masyarakat selaras dengan perubahan yang terjadi secara global,
akan tetapi ada pula masyarakat yang berkembang tidak mengikuti dengan adanya
perubahan zaman melainkan masyarakat tersebut berubah berdasarkan dengan konsep
mengenai perubahan itu sendiri. Untuk mempertahankan kehidupannnya maka masyarakat
berinteraksi ataukah beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi ini dapat
dibedakan menjadi dua , yaitu :
1. Adaptasi genetik
Adaptasi ini bermakna
bahwa setiap lingkungan hidup biasanya dapat merangsang para
pelaku untuk dapat membentuk struktur tubuhnya secara spesifik, bersifat turun
temurun dan juga permanen atau tetap.
2. Adaptasi somatis
Adaptasi ini
merupakan penyesuaian secara fungsional dan bersifat sementara atau tidak
secara turun temurun. Bila dapat
dibandingkan dengan makhluk lainnya bahwa manusia memiliki daya
adaptasi yang cukup lebih luas cakupannya.
Dalam
Pengertian Masyarakat pun berperan sebagai organisasi manusia yang memiliki
hubungan antara satu dengan lainnya dan terdapat pula unsur-unsur pokok yaitu
sebagai berikut :
a. Orang-orang dalam jumlah relatif besar akan saling
berinteraksi baik secara individu dengan kelompok maupun antar kelompok.
b. Adanya kerja sama secara otomatis yang terjadi dalam
setiap masyarakat, baik mengarah pada skala kecil atau antar individu maupun
skala luas atau antar kelompok. Kerja sama ini dapat berupa dari berbagai aspek
kehidupan misalnya seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta
keamanan dan ketertiban.
c.
Berada dalam suatu
wilayah dengan memiliki batas-batas tertentu yang merupakan wadah sebagai
tempat berlangsungnya tata kehidupan yang bersama
d. Berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan memiliki
norma sosial tertentu yang menjadi acuan pada sistem tata kelakuan serta
hubungan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Keberadaan
pencari suaka (Cisarua, Bogor Indonesia)
Keberadaan
pengungsi asing di Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2013, terus mengalami
peningkatan yang cukup drastis. Berdasarkan data yang diperoleh dari UNHCR
(badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah pengungsi), pada 2008
jumlah pengungsi yang masuk ke Indonesia hanya 385 orang. Namun pada 2013,
jumlahnya meningkat hingga 8.332 orang. Mayoritas pengungsi yang masuk ke
Indonesia berasal dari Afganistan, Myanmar, dan Somalia.
Untuk
data per Maret 2014, jumlah pengungsi yang terdaftar di UNHCR sebanyak 3.405
orang. Sementara pencari suaka sebanyak 7.218 orang. Keberadaan pengungsi dan
pencari suaka di Indonesia ada di sejumlah community
house yang tersebar maupun 13 rumah detensi imigrasi (rudenim). Menurut hasil
pendataan yang dilakukan oleh Tim Satgas Penertiban Imigran saat ini ada 481
orang yang berada di Wilayah Kabupaten Bogor yg tersebar di beberapa kecamatan
seperti Megamendung,
Cisarua, Ciawi Caringin, Cijeruk, Sukaraja dan Cibinong. Berikut rincian hasil pendataan yang di lakukan oleh Tim Satgas
Penertiban Imigran yang di laksanakan pada tanggal 28
Februari 2014 sampai dengan 06 April 2014 :
1.
Latar belakang adanya rumah-rumah penyewaan
untuk para pencari suaka di daerah Cisarua Bogor
Latar
belakang adanya rumah-rumah penyewaan di daerah Cisarua Bogor adalah di
karenakan terus berdatangan para imigran khususnya para pencari suaka ke daerah
bogor sedangkan tempat-tempat penampungan yang di sewa oleh IOM telah di tutup
dikarenakan adanya penolakan dari masyarakat terhadap keberadaan imigran, maka
para pencari suaka yang sudah datang tersebut akhirnya mencari rumah-rumah
warga yang dapat mereka sewa, selain dari hal tersebut adanya rumah-rumah
penyewaan tersebut di karenakan warga di daerah cisarua yang kurang mampu dan
tergiur oleh uang yang akan mereka dapatkan dari pencari suaka tersebut jika
rumah yang mereka punya di sewakan.
Keberadaan para pencari suaka yang tidak tinggal di rumah
penampungan (community house) menimbulkan sebagian masyarakat untuk menyewakan
rumah kepada para pencari suaka dengan harga yang relatif mahal sehingga dapat
menguntungkan mereka dari segi ekonomi.
2.
Permasalahan akibat keberadaaan pencari suaka (Cisarua, Bogor)
Para imigran ini keluar dari negerinya untuk mencari suaka karena
negeri mereka tidak aman bagi mereka karena sering terjadi perang. Mereka
memilih menjadi imigran karena di negeri mereka selalu terjadi perang. Tujuan
mereka sebenarnya Australia.
Hal
tersebut diakui oleh salah satu imigran asal Iran yang datang ke Indonesia
bersama orang tua dan dua adiknya. Mereka pindah dari Iran karena negaranya
terlibat perang.
Namun, keberadaan imigran yang menyewa rumah-rumah warga dan
penginapan di Puncak mulai menimbulkan keresahan masyarakat karena perbedaan
budaya dan adat antara masyarakat setempat.
3. Penanganan Para Pencari Suaka
(Cisarua, Bogor)
Pada level kebijakan mekanisme untuk penanganan pengungsi
dapat diketemukan dalam Peraturan Dirjend Imigrasi No IMI-1489.UM.08.05 Tahun
2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, dimana setiap pengungsi yang masuk ke
Indonesia akan dikenakan tindakan keimigrasian dalam bentuk penahanan sampai
status pengungsinya ditetapkan oleh UNHCR. Namun penentuan status oleh UNHCR
dapat memakan waktu sangat lama. Hal Ini berimbas pada munculnya pelanggaran
HAM, karena pengungsi bukanlah pelaku kriminal namun ditempatkan pada situasi
yang mirip dengan penahanan. Tak heran jika banyak di antara pengungsi yang
mengalami tekanan psikologis dan berkeinginan kuat untuk bunuh diri atau kabur
dari rumah detensi imigrasi tersebut. Contohnya yang terjadi pada 13 November
2011, sebanyak 13 pengungsi dan pencari suaka kabur dari Rudenim Tanjungpinang.
Seorang dari mereka gagal menuruni gedung Rudenim terjatuh dan tewas, sementara
seorang lainnya yang juga gagal kabur mengalami luka parah.
Hal
yang paling penting untuk dilakukan dalam menangani pengungsi adalah kebijakan
politik bilateral antar negara asal pengungsi (country of origin), dengan negara penerima pengungsi (host country). Pengembangan aturan hukum
untuk perlindungan pengungsi ini dapat dilaksanakan dalam beberapa hal yaitu:
a.
Mengakses
instrumen hukum / hak asasi manusia internasional tentang pengungsi antara lain
Konvensi 1951 berikut Protokol 1967;
b.
Menyusun
instrumen hukum/hak asasi manusia regional. Hal ini dapat dilihat dari apa yang
dilakukan dalam Organisasi persatuan Afrika (Organization of African Union) melalui Konvensi Tahun 1969,
kemudian negara-negara Eropa melalui Konvensi Schengen 1985 dan Dubin 1990,
serta negara-negara Amerika Latin melalui Cartagena Declaration 1984;
c.
Menyusun
legislasi nasional tentang pengungsi, legislasi ini harus dilakukan dengan
mengembangkan hukum nasional yang komprehensif dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip universal tentang perlindungan pengungsi.
Terdapat dua kerangka
solusi bagi Indonesia dalam menangani masalah kaum migran ini :
1.
Perlunya
kerja sama internasional terutama dengan negara-negara terdekat, seperti
Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia.
2.
Perlu
kerjasama dengan badan-badan internasional yang menangani imigran, seperti
UNHCR dan IOM.
Bila merujuk pada UU
No. 6 Tahun 2011, maka penanganan orang asing pencari suaka dan pengungsi akan
dikategorikan sebagai imigran ilegal, karena secara prosedur, mereka telah
masuk wilayah Indonesia dengan tidak memiliki dokumen perjalanan dan visa yang
sah, serta tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi yang telah ditentukan.
Masih banyak
tantangan yang dihadapi Indonesia, karena Indonesia bukan negara yang
meratifikasi Konvensi 1951. Lagipula, desakan masyarakat untuk menolak
kehadiran mereka juga pasti akan terjadi.
Untuk penanganan
pencari suaka dan pengungsi ke depannya akan dibebankan melalui APBN. Tentu,
ini akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Negara seperti Singapura,
Malaysia, bahkan Australia sekalipun yang secara finansial merupakan negara
mapan, dengan tegas menolak kehadiran pencari suaka dan pengungsi. Menurut data
yang dilansir bps.go.id per Maret 2014, penduduk miskin
Indonesia berjumlah 28.280.010 orang. Itu berarti sekitar 11,25% penduduk
Indonesia saat ini berada dibawah garis kemiskinan. Lantas, dengan realita
kondisi seperti ini, apakah pantas Indonesia lebih mementingkan nasib orang
lain, daripada masyarakat sendiri?
Oleh karena itu, persoalan penanganan imigran ilegal, ibarat
memakan buah simalakama. Di satu sisi, Indonesia tidak berkewajiban menangani
imigran ilegal, karena tidak menandatangani Konvensi 1951 tentang Pengungsi
beserta Protokol 1967. Tapi di sisi lain permasalahan ini berkaitan erat dengan
aspek kemanusian, yang telah menjadi diskusi global. Belum lagi kebijakan “role
back a boat” dari Australia
ke perairan Indonesia, semakin membuat Indonesia berada dalam posisi yang
sulit. Dialektika semacam ini, cepat atau lambat akan merugikan Indonesia
sebagai negara yang berdaulat. Tidak adanya kepastian hukum, tentu berdampak
pada penanganan imigran ilegal ke depannya.
B.
Dampak Sosial Keberadaan rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat
setempat (Cisarua, Bogor)
Dengan
beradaan rumah-rumah penyewaan bagi pencari suaka tentu saja akan berberdampak
terhadap masyarakat, baik dampak negatif ataupun positif. Adapun dampak negatif
dari adanya adalah sebagai berikut :
a.
Adanya
tindakan kriminal yang dilakukan oleh deteni, seperti pencurian.
b.
Rawan
peredaran narkoba dan minuman keras.
c.
Masalah
sosial perkawinan campuran.
d.
Adanya
sindikat penyelundupan manusia.
e.
Membuat
keresahan dalam masyarakat seperti membuat kegaduhan, pelecehan terhadap wanita
disekitar wilayah rumah-rumah penyewaan.
f.
Berubahnya
pola penyelesaian masalah yang tadinya dengan musyawarah mufakat berganti
dengan ada uang segala permasalahan beres.
g.
Adanya
agen yang memberikan adanya jaminan tempat tinggal untuk para imigran
gelap dan adanya oknum UNHCR yang
membuat surat status kejelasan dari imigran gelap menjadi refugee dalam waktu
cepat. Sehingga mengakibatkan semakin banyak imigran gelap yang berdatangan ke
cisarua, selain faktor tersebut diatas ada faktor lain yang membuat betah para
imigran gelap tinggal dicisarua yaitu cuaca yang dingin dan sejuk.
h.
Terjadinya
perpecahan dalam masyarakat yaitu masyakarat yang menerima dan menolak adanya
imigran gelap. Masyarakat yang menerima adalah masyarakat yang mendapat
keuntungan dari imigran gelap berupa materi sedangkan masyarakat yang menolak
adalah masyarakat yang tidak menerima keuntungan.
Adapun
dampak positif dari keberadaan para pencari suaka di tempat rumah-rumah
penyewaan adalah meningkatknya taraf ekonomi masyarakat sekitar rumah-rumah
penyewaan.
1. Contoh kasus
dampak sosial keberadaan rumah-rumah penyewaan terhadap masyarakat setempat
(Cisarua, Bogor)
Terletak
di sebelah selatan kota Bogor Jawa Barat, Cisarua kini menjadi pusat bagi para
pencari suaka dari Asia, Timur Tengah dan Afrika yang nyaris putus asa untuk
mencari negara baru yang bisa mereka sebut tempat tinggal. Di wilayah
pegunungan yang terkenal karena curah hujannya yang tinggi, trauma menjadi
ikatan pahit diantara orang asing di wilayah yang jauh. Mereka berkumpul di
kantung-kantung kecil, di wilayah padat, mempertahankan profil mereka untuk
menghindari anggapan buruk dari warga setempat. Tak bisa bekerja atau menuntut
ilmu, kehidupan mereka seolah terlupakan, dihantui masa lalu dan ketidakpastian
masa depan. Mulanya para pencari suaka dari Iran dan Iraq tertarik dengan kota
yang warga setempatnya mampu berbicara bahasa Arab (Pria-pria Saudi secara
sejarah dikenal berlibur ke wilayah ini untuk menyalurkan hasrat duniawinya).
Warga Sudan, Eritrea, Somalia, Afghanistan, India, Sri Lanka, Mynamar dan
Pakistan menyusul, terpikat oleh solidaritas, kemampuan, suhu yang lebih rendah
dan kedekatan dengan kantor UNHCR di Jakarta.
Kedatangan para imigran ke wilayah Indonesia ini
jumlahnya terus meningkat, sehingga mulai menimbulkan ketidaknyamanan serta
berpeluang memicu gangguan sosial, keamanan, politik, bahkan ketertiban di
masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian
atau penempatan ke negara penerima, termasuk yang dipulangkan secara suka rela
dan dideportasi dari wilayah Indonesia.
Keberadaan mereka sangat rentan baik dari sisi status,
ekonomi serta psikologis sehingga berpeluang dimanfaatkan oleh jaringan
penyelundupan manusia, perdagangan orang, narkoba, serta kegiatan kriminal lain
termasuk jaringan terorisme internasional.
Hal ini bisa menimbulkan dampak serta berbagai masalah di Indonesia
Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor terhadap
keberadaan para Imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor, konon berawal
dari ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu dengan keberadaan para
imigran. Menurut masyarakat setempat,
perilaku para imigran semakin seenaknya, bahkan mulai mengabaikan hukum di
Indonesia.
Padahal salah satu kewajiban sebagai pencari suaka adalah
mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlakudi
indonesia. Meski ada perlindungan dari lembaga internasional semacam UNHCR maupun
IOM, bukan berarti mereka kebal hukum. Bahkan lembaga internasional seperti
UNHCR, mempersilahkan bila memang ada imigran yang melanggar ketentuan hukum
yang berlaku di Indonesia tanpa memandang status mereka sebagai pencari suaka
atau pengungsi
Para pencari suaka ini tinggal di daerah Cisarua Bogor
dengan menyewa rumah atau penginapan dengan biaya pribadi. UNHCR mengidentifikasi pencari suaka seperti
ini sebagai migran ekonomi atau migran mandiri.
Karena tersebar di beberapa titik, migran mandiri ini memiliki resiko
menimbulkan gangguan yang lebih besar di masyarakat.
Para imigran yang datang dan transit diIndonesia,
sebagian besar tidak atas kemauan sendiri.
Mereka menggunakan jasa penyelundup terorganisir, yang mengarahkan
mereka ke Indonesia sebagai wilayah terdekat menuju Australia. Untuk dapat
diselundupkan ke Australia, mereka bahkan rela membayar ribuan dollar kepada
penyelundup manusia. Lalu apa motivasi
mereka sehingga rela mempertaruhkan harta bahkan nyawa guna menuju Australia?
Tampaknya situasi keamanan yang tidak menentu, masalah
ekonomi, prospek pendidikan yang tidak jelas, termasuk menyatukan kembali
keluarga mereka menjadi motivasi utama mereka untuk keluar meninggalkan
negaranya.
Dari beberapa kasus tenggelamnya kapal menuju Australia
yang menyebabkan ratusan korban meninggal, rata-rata mereka lakukan karena
merasa sudah tidak ada jalan lain, sehingga mereka akhirnya menempuh bahaya
dengan taruhan nyawa agar bisa bergabung dengan keluarga yang sudah berada di
negara tujuan. Hal ini juga dipicu oleh
lamanya proses penetapan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR, yang
bisa berlangsung 2 tahun bahkan lebih.
Keberadaan para pencari suaka yang bermukim di
tengah-tengah penduduk sering menimbulkan pro dan kontra. Kelompok pro mengatakan bahwa pencari suaka
ini ‘sumber devisa lokal’, karena segala kebutuhan hidup mereka selama tinggal
di lokasi itu biasa dibeli di warung-warung milik warga. Bagi yang kontra menyebutkan keberadaan
mereka tidak sedikitpun membawa manfaat, justru mudharat di dapat. Perbedaan
budaya merupakan pemicu ketegangan, yang bisa menyulut konflik sosial di
masyarakat.
Salah satu pejabat di kelurahan Cibeureum, Cisarua
menyatakan mereka tidak ada manfaat bagi warga justru mudharat yang kami
dapat,perbedaan budaya menjadi pemicu ketegangan antar warga dengan
‘orang-orang Afgan’ (sebutan penduduk bagi para imigran, red), sambil
memberikan ilustrasi : “saat bulan puasa, sebagai sesama muslim, mereka justru
memberi contoh kurang baik. Makan-minum
seenaknya di tengah jalan, sambil tertawa-tawa.
Ini kan menyakitkan hati warga setempat”.
Di Cisarua keberadaan imigran semacam ini cukup banyak,
mereka menyewa rumah atau penginapan di kampung-kampung, baik secara
berkelompok atau sekeluarga. Sangat
disayangkan, mereka tidak pernah melaporkan keberadaan mereka ke pejabat
kelurahan bahkan setingkat RT. Jadi kelurahan Cibeureum ini tidak tahu persisi
berapa banyak pencari suaka ini tinggal di wilayah tersebut, para petugas
kelurahan telah mencoba mendata dengan mengirimkan edaran untuk diisi oleh
pemilik rumah, atau penginapan. Namun
hanya satu edaran saja yang kembali ke kelurahan selebihnya kosong.
Meski mereka tinggal di wilayah ini,
namun para petugas kelurahan tidak pernah mendapatkan instruksi apapun mengenai
langkah apa yang harus dilakukan terhadap para imigran tersebut, padahal
sebagai pejabat pemerintah di lapis bawah, mereka ini bisa lebih sering
melakukan kontak langsung dengan para imigran, para imigran ini susah di ajak
bersosialisasi siang hari mereka tidur, malam hari mereka keluar berkumpul lalu
membuat suara-suara gaduh, sehingga mengganggu warga sekitar.
C.
Solusi
untuk mengurangi dampak negatif keberadaan pencari
suaka di tempat rumah-rumah penyewaan
1. Peran
Pemerintah dalam menangulangi dampak sosial keberadaan rumah-rumah penyewaan
bagi pencari suaka (Cisarua, Bogor)
Permasalahan mengenai arus pencari suaka yang memasuki
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang tak kunjung mereda,
bahkan jumlah pencari suaka kini kian meningkat. Tercatat di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
di Jakarta, jumlah pencari suaka di Indonesia pada tahun 2010
mencapai 3.905 orang. Jumlah tersebut terus meningkat di tahun 2011
menjadi 4052 orang. Sampai dengan
akhir Oktober 2014, sebanyak 6,202 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara
kumulatif, dan sebagian besar dari mereka berasal
dari Afghanistan (59%), Iran (10%), Somalia (6%) dan Iraq (6%).
Indonesia merupakan salah satu negara yang harus
berhadapan dengan permasalahan orang asing seperti banyaknya pencari suaka yang
singgah dan bahkan tinggal di Indonesia. Dengan konsekuensi letak geografis
yang strategis, Indonesia merupakan tempat persinggahan favorit bagi gelombang
pencari suaka ke negara tujuan yaitu Australia.
Kondisi di Indonesia saat ini hanya memiliki 13 rudenim
untuk menampung para pencari suaka yang akhirnya singgah di Indonesia.
Tentunya jumlah rudenim tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan ribuan
pencari suaka yang masuk ke Indonesia. Menteri
Hukum dan HAM tahun 2011 Patrialis Akbar juga mengatakan tak jarang
pemindahan para pencari suaka ke rumah-rumah biasa kerap dilakukan. Tentunya dengan cara tersebut sangat berpotensi
membuat semakin banyaknya pencari suaka yang tidak terdeteksi di Indonesia.
Terlebih beberapa kasus permasalahan juga kerap terjadi di sejumlah rudenim,
seperti kasus pencari suaka asal Afghanistan yang melarikan diri di Rudenim
Pontianak pada 23 Februari 2012 dan kericuhan antar sesama imigran ataupun
dengan masyarakat, seperti yang terjadi di rudenim Riau pada 28 Juli 2012.
Sampai saat ini Indonesia
belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang status pencari suaka
dan pengungsi, sehingga tidak ada hukum nasional khusus yang mengatur tentang
status dan keberadaan para pencari suaka di Indonesia. Selama ini penanganan
atas pencari suaka dan pengungsi di Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Imigrasi sebagai lembaga pengawas orang asing yang diberikan wewenang
oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan Undang-Undang no 6 tahun 2011 tentang
keimigrasian. Indonesia terpaksa menyerahkan kewenangan penentuan status
pencari suaka pada UNHCR, dengan dibantu oleh IOM yang selama ini memberikan
bantuan materi untuk kebutuhan pangan para pencari suaka yang tinggal di
rudenim. Dalam setahun UNHCR hanya mengeluarkan 300
status pengungsi bagi pencari suaka. Pencari suaka yang tercatat masuk ke
Indonesia jumlah setiap tahunnya bertambah rata-rata 1.500 orang. Tentu sisanya yang belum mendapat kepastian
status pengungsi dari UNHCR tersebut menjadi beban yang harus ditanggung
Indonesia. Selain lambatnya proses di UNHCR, IOM juga
terkesan memanfaatkan rudenim Indonesia sebagai lokasi penampungan. Padahal,
anggaran tempat untuk para pengungsi per orangnya sudah ada. Namun anggaran
yang ditanggung IOM hanya biaya makan, padahal biaya tinggal per harinya bagi
pengungsi adalah Rp 60.000, tapi itu terbebas karena mereka tinggal di rudenim.
Hal tersebut menjadi bagian dari kerugian negara dalam pembiayaan para pencari
suaka yang tinggal di rudenim.
Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia 2012 Amir Syamsuddin mengatakan di Puncak, Cisarua, Jawa Barat,
terdapat banyak pencari suaka asal Timur Tengah yang menetap secara ilegal.
Pada akhir Oktober 2012 kantor imigrasi Bogor merespons ultimatum warga Cisarua
yang menginginkan daerahnya bebas dari pencari suaka asal Timur Tengah yang
berkeliaran di pemukiman warga khususnya daerah villa puncak Cisarua. Namun
menurut Kepala Imigrasi Bogor Bambang Catur mengatakan pemindahan tersebut
tidak bisa dilakukan sekaligus. Proses pemindahan tersebut memerlukan pendataan
terhadap seluruh pencari suaka yang ada di Cisarua. Namun hingga Mei 2013 masih
saja terdapat laporan pencari suaka yang berkeliaran di villa puncak Bogor. Sampai saat ini Provinsi Jawa
Barat belum memiliki rudenim untuk menampung para pencari suaka yang
tertangkap, sehingga harus menunggu proses koordinasi terlebih dahulu apabila
ingin memindahkan pencari suaka yang tertangkap melarikan diri tersebut. Kondisi
di 13 Rudenim di Indonesia semuanya telah over
capacity, sehingga masih sering ditemukannya pencari suaka yang tinggal di
rumah-rumah warga maupun tempat penginapan dan ditengah-tengah masyarakat.
Menurut Kepala Badan
Reserse Kriminal Mabes Polri pada tahun 2011, Komisaris Jenderal Ito Sumardi
Pencari suaka yang singgah di Indonesia rawan menjadi kurir kejahatan
transnasional seperti kejahatan perdagangan narkotika dan terorisme. Saat ini penanganan masalah pencari suaka
masih sangat parsial dan terbatas. Keterbatasan itu termasuk dalam hal sumber
daya manusia, anggaran, sarana dan prasarana pada lembaga-lembaga terkait,
melemahnya pengawasan pada jalur darat, laut dan udara, kendala dalam bidang
teknologi, serta lemahnya hukum secara yuridik dan diplomatik. Meski sudah terdapat beberapa bantuan dari
pihak eksternal seperti UNHCR, IOM dan juga pemerintah Australia tetap saja
Indonesia masih memiliki potensi terancamnya keamanan non-tradisional dengan
singgahnya ribuan pencari suaka. Hal tersebut telah dikatakan oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Timur Pradopo pada Januari
lalu bahwa jumlah kasus kejahatan transnasional yang dialami Indonesia kini
meningkat. Data Polri menunjukkan bahwa tahun 2010,
terjadi 10.444 kasus. Terdapat tiga kasus transnasional yang menonjol, yaitu
kejahatan dunia maya, kejahatan narkoba dan kejahatan terorisme. Pada tahun
2011 naik menjadi 16.138 kasus. Data terbaru menunjukkan sepanjang 2012 Mabes
Polri menangani 21.457 kasus transnasional, jumlahnya naik 24,78 persen dari
tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2009 hingga 2012 terdapat empat tren
kejahatan transnasional yang paling menonjol yaitu penyelundupan obat-obatan
terlarang (narkotika), perdagangan manusia (trafficking),
penyelundupan manusia dan terorisme.
Diakui
Kapolri Timur Pradopo, tak semua kasus kejahatan transnasional tersebut bisa
diselesaikan secara hukum di akhir tahun 2012 lalu. Dari total 21.457 kasus
kejahatan transnasional pada tahun 2012, Polri baru dapat menyelesaikan 16.884
kasus. Sebanyak 4.573 kasus masih menjadi pekerjaan rumah bagi Polri untuk
dituntaskan pada 2013 ini. Sedangkan jumlah kasus yang disebabkan oleh
para pencari suaka yang masuk ke Indonesia selama periode bulan Januari hingga
bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus. Angka ini merupakan peningkatan yang sangat
signifikan karena mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun sebelumnya,
yaitu sebesar 31 kasus.Sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 Statuta UNHCR, salah satu fungsi
UNHCR adalah mencari solusi permanen bagi mereka yang mendapatkan status
pengungsi. UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang
memungkinkan, yaitu:
1. Pemulangan sukarela ( Repatriation)
Syarat yang diperlukan untuk pemulangan
pengungsi secara sukarela ke Negara asalnya adalah keamanan dan pulihnya
perlindungan nasional. Jika keduanya
belum ada, seringkali pemulangan pengungsi hanya bersifat sementara.
2. Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
Pemindahan pengungsi ke Negara ketiga ini
merupakan alat perlindungan terhadap pengungsi yang hidup, kebebasan, keamanan,
kesehatan dan hak fundamental lainnya menghadapi resiko di Negara suaka.
3. Resettlement merupakan bentuk berbagi beban dan tanggung
jawab antara para peserta Konvensi 19513
Integrasi lokal Dalam integrasi lokal, Negara suaka menawarkan agar
pengungsi dapat tinggal secara permanen diwilayahnya. Sehingga kemunginan
naturalisasi kewarganegaraan pengungsi. Integrasi lokal terjadi melaui beberapa
tahapan :
a) Pengungsi mendapat hak yang semakin luas,
sehingga sama dengan yang dinikmati oleh warga Negara dari Negara suaka,
kemudian pengungsi diijinkantinggal secara permanen dan kemungkinan
naturalisasi
b) Pengungsi semakin tidak bergantung dengan
bantuan dari Negara suaka maupun bantuan kemanusiaan lainnya karena telah
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
c) Pengungsi berpartisipasi dalam kehidupan
sosial di Negara barunya
Namun, solusi yang terakhir tidak berlaku di Indonesia karena pemerintah tidak
memberikan izin tinggal secara Permanen di Indonesia bagi pengungsi. Penempatan
di negaraketiga sejauh ini masih menjadi satu-satunya solusi bagi mayoritas
pengungsi di Indonesia. Dalam menjalankan solusi-solusi yang disebut di atas,
UNHCR bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah, organisasi, dan
instansi swasta untuk memudahkan repatriasi secara sukarela para pengungsi
dan reintegrasi ke negara asala mereka, integrasi para pengungsi di Negara
pemberi suaka atau di Negara pengungsi dimukimkan kembali (resettlement ).
Bila perlu UNHCR akan memberikan bantuan material untuk jangka waktu pendek.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dalam
analisis dan pembahasan masalah yang penulis kemukakan, maka dari uraian
tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Latar belakang adanya rumah-rumah penyewaan di cisarua bogor
adalah karena faktor ekonomi masyarakat sekitar yang beranggapan dengan adanya
pencari suaka akan mendatangkan devisa bagi mereka.
2. Keberadaan para pencari suaka di Cisarua bogor memberikan dampak
sosial terutama dampak negatif seperti munculnya keresahan masyarakat yang
merasa terganggu dengan adanya imigran di sekitar, timbulnya tindak kriminal,
terjadinya pelecehan terhadap wanita yang dilakukan oleh pencari suaka yang
notabenenya adalah imigran gelap, berubahnya pola budaya penyelesaian masalah dengan
musyawarah mufakat berganti dengan ada uang segela permasalahan bisa
diselesaikan, serta munculnya
oknum-oknum UNHCR yang mempermudah masalah surat kejelasan status imigran.
3. Indonesia juga harus memperhatikan keadaan dari
pengungsi karena adanya imigran yang mencari perlindungan atau suaka, jadi
pemerintah harus bisa menangani dan menempatkan mereka di tempat yang
seharusnya sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi No
IMI-1489.UM.08.05, tertanggal 17 September 2010 tentang penanganan imigran
legal.
Serta diperlukannya kebijakan yang kuat baik dasar
hukumnya bentuknya dan sanksinya agar masalah apapun yang berhubungan dengan
imigran gelap dapat diselesaikan denga adil, akan tetapi sampai saat ini
tidak ada kelembagaan di
Indonesia yang efektif untuk mengurangi dampak keberadaaan pencari suaka di
tempat rumah-rumah penyewaan.
B. Saran
1. Perlu adanya kesadaran dari masyarakat untuk tidak menyediakan
rumah-rumah penyewaan untuk para pencari suaka yang tidak taat hukum.
2. Untuk menanggulangi dampak negatif dari adanya rumah-rumah
penyewaan bagi pencari suaka hendaknya pemilik rumah tersebut melaporkan kepada
pihak yang berwenang dan jangan menutupi kesalahan yang di lakukan oleh pencari
suaka tersebut.
3. Untuk mengurangi dampak negatif keberadaan pencari suaka di tempat rumah-rumah penyewaan adalah
kerjasama antar instansi dalam hal ini pemenrintah daerah, imigrasi dan aparat
keamanan untuk melakukan sosialisi ke masyarakat tentang penanggulangan terhadap
pencari suaka agar masyarakat menjadi sadar hukum dan tidak mau menjadi bagian
dari agen ataupun oknum yang memberikan jaminan berupa rumah-rumah penyewaan
bagi pencari suaka.
Demikianlah Kertas Kerja Perorangan ini penulis buat,dan penulis sadar
karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, jika terjadi kesalahan
dalam penulisan kata ataupun penyusunan kalimat dalam karya ilmiah ini, mohon
pembaca dapat mengoreksi demi kesempurnaan penyusunan karya ilmiah ini dan
karya ilmiah berikutnya di masa mendatang.